"AQSHA KRAL"

Tempat Berbagi dan Bertukar Inspirasi

    • Home
    • RECEHAN
    • _CERITA MASA KECIL
    • _CERITA SMA
    • _CERITA MASA KULIAH
    • _CERITA DI PAPUA
    • _ABROAD
    • BERBAGI
    • _SINOPSIS
    • _OPINI
    • CERPEN
    • MELANCONG

    Halaman : xxvii + 324 hal
    Diterbitkan oleh : Republika Penerbit
    Penulis :  Irfan Hamka

    Sebagai tokoh nasional yang masyhur, tentunya banyak orang yang ingin mengetahui kehidupan dari Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan Buya Hamka. Pria yang lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada tanggal 17 Februari 1908 memang memiliki banyak sisi kehidupan yang menarik dan patut diteladani. Oleh karena itu, banyak penulis yang ingin mengabadikan perjalanan hidup Hamka ke dalam sebuah buku.

    Sebuah buku karya Irfan Hamka yang berjudul Ayah ini menceritakan kehidupan seorang Buya Hamka. Dalam buku ini, selain sebagai penulis, Irfan juga berkedudukan sebagai anak ke lima dari pasangan Hamka dengan Hajah Siti Raham Rasul. Tentunya dalam penceritaannya, unsur subjektivitas tidak bisa terelakkan mengingat beliau adalah seorang anak. Namun, itu semua tidak mengurangi  keindahan akhlak, perjuangan, serta nilai-nilai yang ada dalam diri Hamka.

    Cerita-cerita dalam buku ini, selain dari pengalaman langsung sang penulis, juga terdapat beberapa cerita dari teman-teman maupun kerabat Buya Hamka. Ditambah lagi sumbangsih cerita dari sanak saudara yang memiliki kehidupan sangat dekat dengan Hamka, membuat buku ini menguak beberapa kepribadian ataupun kejadian yang tidak diketahui khalayak umum.

    Cerita dalam buku ini bermula dari ketika Irfan berumur lima tahun. Kenangan masa kecilnya dipenuhi dengan perjuangan berpindah-pindah tempat tinggal agar sang ayah tidak tertangkap oleh pihak Belanda. Ya, selama tahun 1947, Hamka memang disibukkan dengan usaha-usaha mempertahankan kemerdekaan. Beliau berkeliling Sumatra bagian tengah untuk menghimpun kekuatan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Tekat beliau begitu membara. Beliau rela keluar masuk hutan, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain agar tidak tertangkap oleh Belanda.

    Kepindahan Hamka ke Jakarta pada tahun 1950, membuat karir beliau semakin melejit. Setelah diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di kementerian Agama, lima tahun berselang beliau terpilih menjadi anggota Konstituante Republik Indonesia. Selama tahun 1955-1957 inilah beliau berkecimpung didunia politik.

    Salah satu momen paling menarik dalam buku ini adalah ketika Hamka, beserta sang istri dan Irfan menjalankan ibadah haji ditahun 1968. Perjalanan ke Tanah Suci yang masih menggunakan kapal laut tersebut memakan waktu sekitar tiga belas hari.Banyak kenangan manis maupun pahit bersama sang ayah dan umi selama perjalanan menuju Mekah. Selain singgah dibeberapa kota besar dan berkeliling sambil menikmati kuliner khas daerah tersebut, selama perjalanan mereka juga mendapati peristiwa-peristiwa yang gak bisa ditemui ketika di darat, salah satunya adalah prosesi pemakaman jamaah haji yang meninggal dunia di kapal. Proses pemakamannya yang sangat berbeda dari biasanya, yaitu dengan cara menenggelamkannya di tengah laut, menjadikan peristiwa tersebut tak akan terlupakan.

    Momen haji ini pun dimanfaatkan oleh Hamka, umi, dan Irfan untuk berkeliling negeri Arab, mulai dari Mesir, Suriah, Lebanon, hingga Irak. Sosok seorang pemikir dan ulama yang melekat pada diri Hamka membuatnya diundang oleh beberapa kedutaan besar negara Arab untuk mengisi pengajian.
    Hal yang menyenangkan dari perjalanan ini tentunya adalah dapat berkeliling sambil menikmati kehidupan negeri Arab. Beberapa kebiasaan unik seperti kebiasaan orang mesir makan wortel di jalanan, hingga kota Lebanon, Beirut yang memiliki berbagai dimesi kehidupan.

    Namun selama perjalanan yang memakan waktu sekitar satu minggu tersebut, mereka juga mengalami beberapa kejadian buruk. Kejadian buruk tersebut dimulai dengan turbulensi parah selama penerbangan dari Suriah ke Irak yang membuat tekanan darah umi naik drastis. Kejadian tersebut menimbulkan trauma sekaligus membuat kesehatan umi drop. Karena memperhitungkan kesehatan umi sekaligus masih ada rasa trauma turbulensi dari mereka bertiga, akhirnya mereka kembali ke Mekah dengan menggunakan mobil.

    Perjalanan tersebut memakan waktu tiga hari empat malam dengan melintasi padang pasir terluas kedua di dunia. Selama perjalanan tersebut, setidaknya tiga kali sang penulis bersama sang ayah dan umi dihadapkan dengan kematian. Yang pertama adalah dikejar badai pasir. Yang kedua adalah nyaris terjadi kecelakaan ketika sang sopir mengantuk. Dan yang ketiga adalah ketika mereka nyaris tersapu oleh air bah ketika melintasi gunung granit. Ada yang menarik ketika semua itu terjadi. Meskipun bahaya sudah didepan mata, Hamka tetap tenang, berdzikir dengan menyebut nama Allah. Dan seketika itu pula mara bahaya yang nyaris merenggut nyawa mereka urung terjadi. Sungguh suatu keimanan dan ketenangan yang luar biasa.

    Buku ini juga menceritakan menceritakan keteladanan Buya Hamka yang perlu dicontoh oleh generasi-generasi selanjutnya. Dibalik sifat pemaaf, penyayang, dan sabar, beliau juga seorang yang tegas, tanpa kompromi. Ketegasan dan sifat tanpa kompromi tersebut selalu dikeluarkan oleh Hamka tatkala beliau bersentuhan dengan masalah akidah dan nahi mungkar. Salah satu contohnya adalah tatkala beliau rela mundur dari jabatan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) lantaran enggan mengubah fatwa yang telah ia keluarkan.

    Adapun sifat pemaaf beliau tercermin dari kemauannya menjadi imam sholat jenazah Soekarno meskipun ditahun 1962, Hamka dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Selain itu, permintaan terakhir Moh. Yamin untuk bimbingan Hamka dikala akhir hayatnya juga dipenuhi oleh Hamka meskipun dalam beberapa tahun terakhir Moh. Yamin sangat benci dengan Hamka lantaran perbedaan faham ideologi. Serta beliau menerima menantu Pramoedya Anantatoer untuk menjadi muridnya untuk belajar agama islam.

    Membaca dan menulis merupakan ruh dari Hamka. Ratusan karya telah diterbitkan, mulai dari buku agama, roman, maupun artikel-artikel yang dimuat di majalah. Bahkan buku Tafsir Al Azhar menjadi rujukan utama para ulama untuk mempelajari tafsir Al Quran. Bahkan roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Dibawah Lindungan Kakbah telah diangkat dilayar lebar dan mendapatkan apresiasi tinggi dari masyarakat Indonesia.
    Continue Reading
    Perjalanan turun dari Himalaya
    Hari ke Delapan

    30 Desember 2019, rasa puas sekaligus bangga masih berkecimpung di hati gue. Bayang-bayang ABC masih berada lima centimeter di depan mata. Gila! Udah kayak film aja hahaha. Tapi gue yakin, jangankan sehari, sampai akhir hayatpun keindahan ABC takkan pernah memudar dari ingatan.

    Sekitar pukul 09.00 pagi, kami mulai perjalanan menuju Chhomrong. Yups, kami kembali dihadapkan dengan tanjakan Chhomrong yang aduhai. Bayangin tanjakan itu, seketika kaki gue lemes coy! Kami mulai perjalanan pagi itu dengan santai. Lha gimana lagi? Dari Himalaya ke Dovan kami menuruni puluhan ribu tangga berbatu. Kalau cepet-cepet bisa remuk lutut kami hahaha. Selama perjalanan turun, kami tak lagi terpisah-pisah seperti saat pendakian. Sepanjang perjalanan kami ngobrolin apa saja yang akan kami lakukan ketika esok hari tiba di kota.

    Biasanya, kalau kita mendaki sebuah gunung di Indonesia, perjalanan turun jauh lebih cepat daripada ketika mendakinya. Iya kan? Pastilah! Tapi, perjalaan ke ABC ini, baik berangkat maupun pulang, medannya sama-sama berat coy! Meskipun namanya perjalanan turun dari Himalaya ke Chhomrong, kami tetap dihadapkan dengan tanjakan-tanjakan curam!

    Kembali, tanjakan Chhomrong menjadi momok yang sangat mengerikan bagi kami. Tangga yang tak berujung membuat kami frustasi. Bagaimana tidak? Ketika itu waktu telah menunjukkan pukul 17.30. Langit sudah hamper gelap. Nafas kamipun sudah ngos-ngosan. Perut sudah keroncongan. Tetapi kami masih dihadapkan dengan ribuan tangga yang membuat lutut ini ngilu. Lima menit jalan, sepuluh menit istirahat. Begitu terus hingga kami tiba di penginapan sekitar pukul 19.00.

    Ketika tiba di pengipan, rasa lega yang teramat lega gue rasakan. Bayangkan aja besok gue udah di Pokhara! Kota coy! Internet kencang! Udah gak jalan kaki seharian lagi! Selain itu, perjalanan esok hari juga diperkirakan tak begitu berat, jalannya turun dan tanjakannya hanya seuprit. Tapi guys, jangan sekali-kali kalian menganggap enteng bahkan meremehkan ketika turun ya. Justru ketika turun ini kita rentan dengan cedera. Kalo udah cedera, biasanya malah parah. Kan ketika turun tangga, lutut kita menahan beban yang sangat berat. Jadi tetap hati-hati ya guys!

    Kali kedua bermalam di Chhomrong. Nuansanya tetap sama, dingin dan menenangkan. Namun perasaan yang menyelimuti gue berbeda jauh dengan ketika pertama bermalam di sini. Ketika pertama kali kami bermalam di Chhomrong, antusiame gue masih membuncah, semangat menggebu dan bergelora dalam diri. Bagaimana tidak? Ambisi bro! Ambisi ke ABC. Berjalan di tengah padang es! Bagaimana kalau sekarang, malam ke dua di Chhomrong? Perasaan dan pikiran gue udah pengen cepet-cepet balek ke kota bro! Pengen cepet-cepet balek ke Indonesia. Udah kangen dengan nasi goreng Magelangan.

    Pagi hari, 31 Desember 2019, dipikiran gue hanya ada, “nanti malam tahun baruan di Pokhara!” Sekitar pukul 08.00 kami mulai perjalanan Kembali ke Jhinu. Sekali lagi gue ingatkan ya, hati-hati ketika turun ribuan tangga. Hati-hati dengan lutut anda! Ingat umur bro! Jujur, selama perjalanan turun ini lutut gue rasanya sakit banget. Di sini ni peran trekking pole sangat berguna. Kalau dibayangin, jalan gue udah seperti kakek-kakek tua hahaha.

    Sekitar pukul 10.00, kami tiba di Jhinu. Kami Kembali singgah disebuah tea house. Tapi bukan untuk makan, melainkan sekedar untuk istirahat dan pesan minuman yang seger-seger. Maklum, pagi itu matahari bersinar sangat terik. Sepanjang perjalanan juga debu bertebaran. Bikin tenggorokan kering. Karena perjalanan tinggal sedikit lagi, kamipun nyante-nyante sambil menikmati segelas es jeruk nipis.
    Nongki-nongki di bawah terik matahari.
    Setelah tiga puluh menit kami istirahat, kamipun melanjutkan perjalanan ke tempat penjemputan, Siwei. Sepanjang perjalanan rasanya gue tak sabar untuk segera sampai di mobil. Rasanya pengen cepat-cepat duduk nyantai meluruskan kaki tanpa memikirkan harus berjalan kaki lagi selama berjam-jam.

    Sekitar pukul 11.30 kami akhirnya tiba di Siwei. Alhamdulillah, mobil jemputan juga sudah stand by. So, tanpa menunggu lama, kami langsung meluncur ke Pokhara. Sepanjang perjalanan tidak ada hal yang menarik. Lha gimana lagi? Seluruh sendi-sendi di badan kami rasanya sudah mau copot. So, kamipun di mobil cuma tidur ataupun melamun hahaha.

    Perjalanan dari Siwei ke Pokhara membutuhkan waktu sekitar tiga jam. Yups, pulang maupun pergi sama-sama membutuhkan waktu sekitar tiga jam. Memasuki kota Pokhara, sang sopir bilang kalau siang itu mobil tidak bisa memasuki kawasan Lakeside karena sedang ada perayaan tahun baru. Ya, sepanjang jalan Lakeside dijadikan pusat aktivitas warga untuk merayakan tahun baru 2020.

    Salah satu spot di Lakeside
    Sang sopirpun menurunkan kami sekitar 500m dari tempat kami akan menginap. Kali ini, kami menginap di sebuah hotel yang letaknya lumayan jauh dari danau, berbeda dengan hotel ketika kami datang pertama kali tiba di Pokhara yang letaknya Cuma da ratus meter dari danau. That’s no problem. Meskipun lokasinya agak jauh, tapi suasananya masih ramai kok.

    Suasana malam tahun baru di Pokhara.
    Malam datang. Suasana sepanjang Lakeside semakin ramai. Hiruk-pikuk warga Pokhara untuk meramaikan malam tahun baru semakin nyata. Gerombolan pemuda berjalan kesana-kemari macam orang mabuk. Itu bahaya! Ya, itu bahaya! Gue takut! Hahaha. Bayangin aja kalau kami sedang nyantai-nyantai jalan tiba-tiba ditabrak oleh rombongan pemuda mabuk tersebut! Ujung-ujungnya kami bisa dipalakin. Iya kalo cuma dipalakin, kalo sampai dipukuli gimana? Kan konyol!

    Sepanjang malam tersebut, banyak hal yang kami lakukan, mulai dari makan malam di KFC, belanja souvenir, nongkrong di warung kopi, hingga melihat kembang api. Yups, ternyata pemerintah Pokhara mengadakan pesta kembang api. Meskipun tak semeriah pesta kembang api seperti di Sydney ataupun Singapore, namun menurut gue udah cukup lumayanlah.

    Kami kembali ke hotel sekitar pukul 00.30. Gila! Badan gue rasanya remuk! Setelah berhari-hari tidur dengan kasur yang tidak proper, akhirnya sekarang gue bisa tidur di kasur yang empuk, ruangan hangat, dan ada kamar mandi yang bersih dan dilengkapi oleh air hangat. Yeeey, I’m back to normal life! Setelah cuci muka dan gosok gigi, guepun langsung terlelap.

    Hari ke Sembilan

    Sekitar pukul 06.00 kami sudah sibuk packing dan bersiap-siap meninggalkan hotel, menuju terminal bus.  Kabut tipis mengantar kepergian kami. Good bye Pokhara! You will always in my memory. Perjalanan ke Kathmandu kami meggunakan bus yang sama dengan berangkat.

    Sekitar pukul 16.00, kami tiba di Kathmandu. Kami langsung menuju hotel yang sama dengan ketika kami pertama tiba di Kathmandu. Setelah istirahat sejenak, kami langsung cari makan. Perut kami udah keroncongan coy! Makan di mana? Di mana lagi kalau enggak di Chinese food? Pokokman, kami gak bisa dipisahkan lagi dengan restoran Chinese food ini. Rasanya pas, murah, dan banyak hahaha.

    Setelah makan, kami lanjut keliling-keliling Thamel Street cari oleh-oleh buat keluarga, kerabat, dan terutama buat si doi hahaha. Banyak oleh-oleh khas Nepal yang bisa dibawa pulang, diantaranya adalah baju dan celana berbahan kain Nepal, teh dan kopi Himalaya, gantungan kunci, kalung, maupun tas. Harganyapun cukup murah. Tapi yang perlu diperhatikan, kalian harus jago nawar harga ya. Kalau kalian jago nawar, kalian bisa dapat barang tersebut dengan harga setengah dari harga yang pertama disebutkan oleh penjual. Ya mirip-miriplah dengan jual beli di pasar Indonesia.

    Malam telah larut, kami kembali ke hotel lanjut packing. Besok siang kami harus cabut dari hotel ini. Sebenarnya, jadwal penerbangan kami sekitar pukul 19.00. Tapi ya bagaimana lagi? Dari pada bayar sewa kamar, mending kami bengong di bandara hahaha.

    Hari ke Sepuluh

    Kali ini, kami bisa menikmati padi dengan santai. Kami baru memulai aktivitas sekitar pukul 10.00. Karena jadwal penerbangan kami sekitar pukul 21.00 malam, kamipun memutuskan untuk sejenak jalan-jalan di Kota Kathmandu. Tujuan utama kami adalah Patan Durbar Square. Jika kalian ingat ketika Doktor Strange menemukan kamar Taj, lha itu lokasinya di Patan Durbar Square. Kawasan ini memang kawasan kota tua yang sangat amat unik. Bangunannya berarsitektur yang “njilmet”.

    Kami menuju ke Patan dengan menggunakan taksi. Ongkosnya sekitar 400 rupee. Setelah perjalanan sekitar 30 menit, akhirnya kami tiba di Patan. Ternyata areanya tak begitu luas. Namun keindahan arsitektur dan eksotisme bangunan-bangunannya tidak dapat dipungkiri lagi, jos!

    Patan Durbar Square
    Masuknya bayar atau enggak? Jujur, gue gak paham kalau masalah ini. Wisata Patan ini mirip-miriplah dengan wisata kota tua di Jakarta. Maka dari itu, pikir gue kalau cuma jalan-jalan di sekitar area wisata saja, tanpa masuk ke sebuah bangunan, tidak perlu bayar. Kamipun dengan santainya berkeliling sambil berfoto-foto ria. Eeehh, tiba-tiba kami ditanyai sama seorang polisi, “Kalian sudah bayar tiket?” Sontak kami bingung. Tiket apa? Emang ada loketnya? Gue gak liat ada penjualan tiket ataupun papan yang menyatakan aturan bayar sebelum masuk kompleks. Sontak polisi tadi suruh kami bayar tiket. Dia menunjukkan lokasi loketnya. Kamipun nurut aja arahan polisi tadi. Setelah kami tiba di sekitaran loket, kami lihat papan harga tiket. Gila aja, masa satu tiket harganya 1000 rupee! Mahal sekali coy! Ya gak mungkinlah kami beli tiket yang segitu mahalnya. Entah itu tiket apa gue gak tau. Bisa jadi tiket tour yang nantinya didampingi guide lokal. Kamipun memutuskan untuk kabur diam-diam, Toh kami juga sudah puas menikmati Patan hahaha.

    Sekitar pukul 14.00 siang, akhirnya kami tiba di hotel. Jadwal penerbangan masih lama. Untung di hotel ini, para tamu bisa bebas menggunakan ruangan locker tanpa dipungut biaya. Maklum saja, sebagian penerbangan internasional yang bertolak dari Kathmandu sebagian besar malam hari. So, pastinya banyak turis yang bingung mau kemana selama menunggu open gate penerbangan.

    Sumpah guys, tiga jam di ruang locker sangat membosankan. Akahirnya sekitar pukul 17.00 kami memutuskan untuk cabut ke bandara. Perjalanan dari hotel menuju bandara kami tempuh dengan menggunakan taksi. Untungnya siang itu tidak ada kemacetan sepanjang perjalanan menuju bandara.
    Setibanya di Bandara Internasional Tribhuvan, kami langsung masuk ke terminal keberangkatan. Seperti yang pernah kubicarakan di waktu postingan keberangkatan, bandara Tribhuvan ini tidak begitu besar dan fasilitasnya masih sangat minim. Bahkan saking kecilnya, ruang tunggu penumpang Internasional malam itu penuh sesak. Untung aja  suhu malam itu cukup dingin, jadi ruangannya gak begitu gerah. Bayangin aja kalau siang hari, pastinya udah mandi keringat.

    Inilah akhir dari perjalanan panjang gue di Nepal. Pesawat Malindo membawaku kembali ke Indonesia. Sungguh perjalanan yang sangat memorable. Jumat, 3 Januari 2020 pukul 14.00 gue akhitnya tiba di rumah.

    Continue Reading


    Berfoto dengan dua orang Singapura
    Malam di Himalaya terasa sangat dingin. Tidak dapat dipungkiri lagi jika letak Himalaya yang berada di ketinggian 2873 mdpl menjadi salah satu penyebabnya. Namun selain itu juga dikarenakan kondisi tubuh kami yang drop juga menjadi penyebab badan terasa dingin. Malam di Himalaya waktu itu terasa sangat singkat. Setelah bersih-bersih badan dan makan malam, kami langsung tidur.

    Hari ke Enam

    Subuh, 28 Desember 2020, meskipun berada dalam kamar dan berselimut tebal, gue tetap merasa kedinginan. Nggak tau lagi deh suhunya berapa. Gue kasih gambaran ya, biar kalian bayangin sendiri hahaha. Sekitar pukul 08.30 gue mau gosok gigi di kran air yang berada di luar. Ketika gue buka kran, airnya gak keluar coy! Gue kan bingung, bukannya kemaren malam orang-orang masih pada gosok gigi di sini ya? Usut punya usut, ternyata air di dalam pipa sudah menjadi es. Pantas aja gak ada air yang keluar. Kebayang kan berapa kira-kira suhunya waktu itu hahaha.

    Seharusnya, kami mulai pendakian pagi itu sekitar pukul 08.00 pagi. Namun, kondisi tubuh yang masih letih, dan udara dingin yang masih menusuk tulang, tak elak membuat kami mager. Kamipun baru mulai pendakian sekitar pukul 10.00. Another long day had been started (again)!

    Meskipun badan masih terasa pegel-pegel, tetapi tekat kami masih membara. Tujuan kami hari itu adalah Macchapucchre Base Camp (MBC). Diperkirakan kami sampai di MBC sekitar pukul 17.00 sore. Yups, lets go!

    Desa pertama yang harus kami tuju adalah Deurali. Kalau di peta sih dari Himalaya ke Deurali membutuhkan waktu sekitar dua jam. So, sekitar pukul 12.00 kami akan sampai di Deurali dan makan siang. Trek menuju Deurali cukup menantang. Naik turun bukit coy! Bayangin aja, setelah naik ribuan tangga, lalu turun lagi ribuan tangga. Habis itu naik lagi ribuan tangga, apa gak bikin frustasi itu guys? Kenapa harus naik turun? Kenapa gak datar-datar aja? Oh My God!

    Jalan setapak yang kami lewati sekarang udah berubah menjadi tanah dan batu-batu yang tak beraturan. Udah beda banget sama jalan sebelum Himalaya yang berupa susunan batu rapi. Selain jalannya udah susah, sekarang kami dihadapkan oleh tantangan yang lain, yaitu sisa-sisa es tadi pagi yang bikin jalanan jadi licin. Hal itu menuntut kami lebih hati-hati dan memperhatikan setiap pijakan. Jangan sampai terpeleset! Kanan kiri tebing dan jurang oi! Gak lucu kalau sampe terperosok ke jurang!

    Akhirnya, sekitar pukul 12.30 kami sudah tiba di Deurali. Langsung saja kami pesan mie goreng. Kenapa kami pesan mie goreng? Sebenarnya, kami tergiur dengan mie goreng pesanan bule samping meja kami. Mie gorengnya tu keliatan lezat banget. Air liur kami ampe tumpe-tumpe liatin bule tersebut menyantap mie goreng. Tanpa pikir panjang kami berempat langsung pesen mie goreng persis seperti bule samping meja kami. Setelah menunggu sekitar 20 menit, mie goreng pesanan kami tiba. Dan ternyata rasanya tidak seperti yang kami bayangkan! Zonk! Rasanya hambar coy! Padahal bayangan kami rasa mie gorengnya tu tidak jauh beda dari rasa mie goreng di Indonesia. Ternyata yang sama cuma tampilannya saja, kecoklatan hahaha.

    Akhirnya sampe Deurali juga. Udah lebih tinggi dari gunung Merbabu oi!

    Kami istirahat di Deurali cukup lama. Selain badan kami udah lelah, sinar matahari siang itu juga membuat tubuh kami hangat. Rasanya enak sekali berjemur di bawah matahari setelah semalaman meringkuk kedinginan. Jarang-jarang kan orang Indonesia berjemur di bawah sinar matahari jam 13.00 siang? Aku yakin gak akan ada! Kecuali orang-orang yang dihukum sama guru BP untuk suruh hormat ke bendera merah putih di tengah lapangan karena ketahuan bolos main PS hahaha.

    Sun bathing is my life, just for now!
    Takterasa waktu telah menunjukkan pukul 14.30. Kami bergegas melanjutkan perjalanan menuju MBC. Trek menuju MBC jauh lebih menantang sekaligus memesona. Tak hanya jalan setapak naik turun, tetapi juga melewati sungai dan lembah yang disampingnya berupa tebing-tebing tinggi berbalut es. Sesekali gue menemui momen ketika es-es yang berada di tebing  tersebut rontok. Ngeri coy! Udah persis kayak tanah longsor gitu. Kalau ada orang di bawahnya dan ketimbun, aku yakin orang tersebut mati. Lha gimana lagi? Selain bisa terkubur hidup-hidup, es-es yang longsor tersebut juga tajam-tajam lho! Ngeri! So, kami harus hati-hati memperhatikan kondisi sekitar dan mendengarkan setiap instruksi dari guide.

    Kejadian seperti perjalanan Dovan – Himalaya terulang lagi diperjalanan dari Deurali menuju MBC. Bukan sampe malamnya ya, tapi pisah-pisahnya hehehe. Posisinya sama, Farhan dengan guide di depan. Gue di tengah sendiri. Bening, Abu dan porter di belakang. Namun, literally gue gak sendirian. Selama perjalanan menuju MBC ini gue banyak barengannya, ada bule dari China, Jepang, dan Eropa. Tempo jalan mereka sama dengan gue. Gue pura-pura SKSD sama mereka. Lumayan kan bisa nebeng guide hahaha. So, selama perjalanan menuju MBC, gue malah ikut dengan gerombolan mereka. Sepanjang perjalanan gue selalu minta bantuan mereka untuk taking picture for me. Dan alhamdulillah nya mereka dengan senang hati mau memfoto gue hahaha.

    Ini difoto sama bule Jepang.
    Oia, diperjalanan menuju MBC, gue juga berpapasan dengan orang Indonesia lho. Kok bisa gampang bedain itu orang Indonesia atau bukan? Gimana caranya? Kan bisa saja dia orang Malaysia atau Singapura? Kan ciri-cirinya sama. Tenang bro, ada cara jitunya kok. Liat saja tas atau asesoris yang digunakan. Kalau dia pake Eiger, Consina ataupun Rei, bisa dipastikan dia itu orang Indonesia. Kebetulan tas yang gue pakai bermerek Consina. So, nggak heran dong kalau tiba-tiba ada orang yang ngajak ngobrol gue pakai bahasa Indonesia hahaha.

    Pemandangannya gila abisss coy!
    Disela pembicaraan kami, si doi tanya, “rencanya mau bermalam di mana mas? ABC atau MBC?”
    “Di MBC mas,” jawab gue.
    “Iya mas, menurutku juga lebih baik di MBC. Tadi malam suhu di ABC nyampe -20 derajad celcius. Bule-bula aja pada kedinginan.”
    Guepun shock seketika, “Gila ajasampe minus 20 derajat? Gimana ni, bisa gak gue besok nyampe ABC?” pikiran gue langsung kalut hahaha.
    “Oke mas, semoga sukses sampe ABC.” Diapun melanjutkan perjalanan turun.

    Setelah percakapan dengan mas-mas asal Batam tadi, pikiran gue masih tak jauh-jauh dengan “-20 derajad celcius”. Gila aja! Bisa-bisa ingus gue beku!

    Jalan menuju MBC terasa semakin berat. Selain tenaga yang sudah terkuras, kadar oksigen yang semakin menipis juga menyebabkan nafas gue mudah ngos-ngosan. Jalanannyapun semakin licin dikarenakan pijakan kami bukan lagi tanah ataupun batu, melainkan es! Semakin dekat ke MBC, esnya semakin tebal. Lama-lama yang terlihat cuma hamparan es!

    MBC bro! Salju udah di mana-mana.
    Waktu talah menunjukkan pukul 16.30. Gue lega karena papan bertuliskan Welcome to MBC telah terlihat. “It means, there’s no another gloomy day like yesterday!” Hati gue kegirangan hahaha. Tepat di papan terbut terdapat dua jalan yang bercabang, satu belok mengelilingi bukit dengan jalan melandai dan satunya lagi jalan naik ke atas bukit. Karena gue melihat ada penginapan di atas bukit tersebut, guepun memutuskan untuk naik. Bayangin aja di tengah tenaga yang telah menipis dan dinginnya udara di MBC sore hari yang menusuk tulang, gue berjuang untuk menuju penginapan tersebut.

    Tanjakan yang menyengsarakanku.
    Sialnya, setelah gue nyampe, gue gak nemu Farhan dan sang guide! Guepun lantas tanya ke penjaga penginapan, “Apakah di sini ada orang Indonesia dengan ciri-ciri pakai jaket biru, rambut panjang dan seorang guide yang pakai jaket abu-abu dan tas biru muda?”
    Sang penjaga penginapanpun jawab “Tidak ada!”

    Eeeee buseeet, mereka di mana? Guepun langung panik seketika.

    Melihat gue panik, si penjaga penginapanpun mencoba memberikan solusi, “Barangkali temanmu itu menginap di penginapan yang ada di sana,” sambil menunjuk ke sebuah penginapan lagi yang letaknya ada di bawah dan berjarak sekitar 200 meter.

    Rasanya gue pengen ngumpat-ngumpat seketika. Lha gimana lagi? Gue ini udah naik ke sebuah bukit, dan sekarang harus turun lagi? Gila aja! Macam tenaga gue tumpe-tumpe.

    Seketika gue langsung menyesal, “Kenapa gue tadi gak pilih jalan yang landai? Kalau gue pilih jalan itu, pasti sekarang gue udah sampai penginapan dan berselimut hangat, huhuhu.”

    Akhirnya sekitar pukul 16.45 akhirnya gue nyampe juga di penginapan. Tanpa ba-bi-bu gue langsung rebahan di kasur. Gila, perjalanan yang sungguh melelahkan. Sudah tiga hari berturut-turut berjalan kaki berkilo-kilo meter dengan medan yang luar biasa menantang. Rasanya kaki ini udah bengkak semua hahaha.

    Gak banyak yang gue lakukan di MBC. Badan yang sudah letih, ditambah dinginnya udara membuat gue malas beraktivitas. Terlebih lagi besok subuh, kami harus sudah mulai mendaki menuju ABC. Kejar sun rise bro! Akhirnya, setelah makan malam, sekitar pukul 20.00 kami sudah tertidur lelap.

    Hari ke Tujuh

    Subuh, 29 Desember 2019. Ditengah udara dingin menusuk tulang, kami bersiap untuk menuju ABC. Diperkirakan suhu ketika itu sekitar -10 derajad celcius. Semua amunisi perlengkapan penghangat badan kami keluarkan, mulai dari kaos kaki panjang, long jhon, down jacket, kupluk, hingga syall. Bahkan, gue pake baju rankap 3. Baju lengan panjang yang nyerap keringat, jaket gunung biasa, dan down jacket dilapisan luarnya. Celana juga dua lapis. Sepatupun sekarang harus dikasih crampons agar gak licin. Yups, sekarang jalanan fully of ice, tanahnya udah gak keliatan lagi oi hahaha.

    Matahari udah nongol. Saatnya berfoto.

    Setelah sholat subuh, kami langsung memulai pendakian. Gila! Langit masih gelap. Angin berhembus cukup kencang. Gue yakin, sepuluh menit gue lepas kupluk, daun telinga gue copot, beku! Tinggal dipotel bisa copot! Dengan ditemani cahaya headlamp, kami menyusuri hamparan salju. Mendaki, mendaki, dan mendaki.

    Meniti asa di tengah hamparen es di bawah sinar mentari pagi.

    Perjalanan subuh itu terasa sangat berat. Bahkan menurut gue yang paling berat dari semua perjalanan sebelumnya. Ditengah kadar oksigen yang tipis, kami dituntut untuk terus mendaki. Gak gerak selama lima menit aja, kami langsung kedinginan. Di sisi lain, jika kami terus berjalan, nafas kami gak kuat! Hidung kami memerah. Ingus keluar tak terkendali. Bahkan permukaan hidung jika digesek tersa sakit. Satu-satunya harapan kami waktu itu, “segera muncullah matahari.”

    Setelah berjalan selama dua jam, akhirnya ABC telah terlihat. Sontak semangat kami kembali menggebu. Terlihat beberapa pendaki berfoto bersama di depan papan nama bertuliskan “NAMASTE ANNAPURNA BASE CAMP”. Yeaaaah, finally I’ve made my history!

    Berfoto di spot paling favorit.

    Oia, kalo foto di depan papan nama tersebut kalian harus tau diri ya guys! Kalian fotonya jangan lama-lama. Harus gantian. Banyak pendaki-pendaki lain yang juga ingin foto di tempat tersebut. Jadi, ketika foto di tempat tersebut, pastikan pakai kamera terbaik dan difoto oleh orang yang memiliki sense of photography. Kan sayang kalau udah capek-capek pergi ke ABC, foto-fotonya jelek.

    Oia, gue lupa cerita. Selama dua hari belakangan. Kami bertemu dengan dua pendaki asal Singapura. Mereka mendaki tanpa membawa guide dan porter. Setelah berbincang-bincang, ternyata mereka udah beberapa kali mendaki ABC. Pantes aja mereka berdua tampak nyantai dan gaya-gayanya tu macam pro climber hahaha.

    Selain dengan berjalan kaki selama berhari-hari, ada juga lho jasa wisata ke ABC dengan menggunakan helicopter. Hanya dengan bayar sekitar 10 juta per orang, kalian bisa ke ABC tanpa capek. Tinggal duduk di helicopter sambil menikmati pemandangan dari atas, lima belas menit kemudian sampai deh di ABC. Wuuiii pastinya sangat luar biasa. Tapi ada beberapa hal yang tidak didapatkan jika kalian naik helicopter. Satu, kalian tidak bisa berfoto di papan nama “NAMASTE ANNAPURNA BASE CAMP”. Dua, kalian hanya diberi waktu sekitar setengah jam untuk menikmati ABC. Tiga, kalian tidak bisa banyak cerita mengenai perjuangan mencapai ABC. Tentunya pengalaman yang didapat dari orang-orang yang berjalan kaki menuju ABC akan teramat banyak, melebihi mereka yang naik helicopter.

    Beginilah pemandangan dari dalam restoran
    Setelah puas berfoto, kami sarapan di sebuah tea house yang ada di ABC. Sungguh menjadi breakfast terindah in my life. Bagaimana tidak? Restorannya dikelilingi oleh kaca. So, kami bisa sarapan sambil menikmati indahnya Puncak Annapurna dan Macchapucchre yang ada di mata. Yups, di depan mata guys! Rasaya tinggal loncat aja gue udah nyampe puncak! Lebay banget sih hahaha. Padahal aslinya jalur menuju puncak Annapurna adalah salah satu jalur mematikan yang ada di dunia. Level kesulitannya bintang lima cuy! Makanya jarang orang yang mau naik ke puncak Annapurna.

    Sedikit cerita ya guys. Pendaki pertama yang mencapai puncak Annapurna adalah Louis Lachenal dan Maurice Herzog pada tanggal 3 Juni 1950. Mereka juga mencatatkan sebagai orang pertama yang berhasil mencapai puncak gunung yang ketinggiannya diatas 8.000 meter. Untuk mencapai puncak tersebut, pengorbanan mereka sungguh luar biasa. Medan yang mereka hadapi sungguh luar biasa sulit dengan ditambah dingginya udara membuat mereka rawan terkena hipotermia. Selain itu, Mourice Herzog juga harus merelakan seluruh jari ditangannya putus akhibat tak kuasa menahan dingin. Bayangin aja coy, jarinya putus gara-gara beku jadi es! Hingga tahun 2012, hanya ada 191 pendaki yang berhasil mencapai puncak Annapurna. Sekaligus menempatkan Annapurna sebagai puncak yang paling sedikit dijamah oleh manusia. Fatality rate Annapurna juga cukup besar, yakni mencapai 32%.

    Annapurna bro!
    Setelah selesai sarapan, kami sejenak berkeliling sekitar untuk mencari spot foto terbaik. Ternyata di ujung ABC terdapat jutang yang sangat dalam. Menurut gue, disitu merupakan salah satu spot terbaik untuk foto. Backgroundnya adalah gugusan puncak Annapurna. Dan yang paling penting adalah tidak backlight hahaha.

    Setelah puas menikmati pesona ABC, kamipun kembali ke MBC. Sekitar pukul 11.00 kami tiba di MBC. Kami beristirahat sejenak dan makan siang sebelum kami melanjutkan perjalanan kembali ke Himalaya. AKhirnya sekitar pukul 17.00 kami tiba di Himalaya.

    Continue Reading
    Salah satu spot terbaik di Chhomrong
    Chhomrong, sebuah desa yang cukup besar di kaki Pegunungan Himalaya dengan sejuta pesona. Letaknya yang berada di sepertiga perjalanan menuju ABC, atau sekitar 6 jam dari titik awal rute pendakian (Siwei), membuat desa ini sangat pas dijadikan tempat bermalam. Selain itu, letak desa ini yang berada di puncak sebuah bukit membuat desa ini memiliki panorama yang luar biasa indah. Gagahannya puncak Annapurna dan Fishtail yang menjulang tinggi dapat dilihat dengan jelas dari desa ini. Tak khayal jika di desa ini menjadi desa terbesar di sepanjang jalur menuju ABC.

    Sore itu menjadi sore yang sangat spesial bagi gue. Tak ada lembayung. Juga tak ada lagu indie. Hanya ada sebuah pemandangan yang luar biasa memesona. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika sore itu, tanggal 26 Desember 2019, gue dapat duduk ditemani segelas teh panas, memandangi dua puncak mashur Pegunungan Himalaya, yaitu Annapurna dan Fishtail. Udara sore ketika itu masih sekitar 8 derajad celcius. Namun angin yang berhembus cukup kencang membuat badan gue menggigil. Tak kuasa jika terlalu lama duduk di tempat terbuka.

    Langit mulai gelap. Udara dingin semakin menusuk tulang. Namun perut yang keroncongan memaksa gue harus keluar kamar, menuju kantin. Ternyata di kantin yang berukuran sekitar 6x6 meter telah berkumpul para pendaki yang sedang menyantap makan malamnya. Suasana malam yang dingin berubah jadi hangat ketika para pendaki saling berdesakan, bercanda, dan berbagi cerita satu sama lain.

    Korea. Sebuah negara yang terkenal dengan KPOPnya dan gudangnya gadis-gadis jelita ternyata memiliki sebagian warganya memiliki jiwa petualang. Sebelumnya gue berpikir kalo orang-orang Korea tu manja, lemah, dan gak suka dengan petualangan. Ternyata pikiran gue salah! Orang Korealah yang paling banyak gue temuin sepanjang perjalanan menuju ABC. Tak hanya cantik dan ganteng, mereka juga ramah-ramah. Suaranya juga aduhai. Melting hati gue setiap mendengar mereka berbicara hahaha.

    Ada beberapa pelajaran yang gue dapatkan sepanjang pendakian hari pertama. Salah satunya adalah keniscayaan bahwa orang Eropa itu haus akan ilmu pengetahuan. Yups, meskipun mereka sedang mendaki gunung, buku tidak lupa mereka bawa. Baik itu orang dewasa maupun anak-anak. Buku apapun itu, mereka selalu bawa. Mereka langsung buka buku bereka setelah tiba di tempat penginapan ataupun ketika sedang istirahat sejenak. Baca, baca, dan baca! Dari sini gue mengerti mengapa pereadaban mereka jauh dilebih maju. Budaya haus akan ilmu pengetahuan adalah salah satu penyebabnya. Beda sama gue. Sesampainya di penginapan, yang pertama gue cari adalah sinyal internet. Setelah itu bukannya gue akses situs-situs yang bermanfaat, tetapi malah media sosial yang isinya gak berbobot, tak jauh dari hoax-hox yang berseliweran. Jujur gue merasa sedih.

    Malam telah larut. Sebelum tidur, gue teringat bahwa gue belum sholat maghrib dan isya. Terpaksa gue copot kaos kaki dan jaket tebal saya untuk menyucikan diri dengan bertayamum. Yups, tayamum. Gue gak kuat kalo harus wudhu pakai air yang sedingin es. Bisa-bisa tangan gue beku hahaha. Meskipun telah menggunakan kaos kaki, dinginnya lantai mampu menusuk telapak kaki. Mau gak mau gue sholat beralaskan selimut tebal agar telapak kaki gue hangat.  Setelah sholat, langsung deh gue bersembunyi, meringkuk dibalik selimut tebal. Meringkuk di dalam selimut tebal dengan pakaian serba tertutup dari ujung kaki hingga ujung kepala merupakan sebuah kenikmatan ditengah suhu udara yang mencapai 3 derajad celcius.

    Hari ke-4

    Subuh menjelang. Sebuah cobaan yang sangat berat untuk beranjak dari tempat tidur dan melaksanakan sholat subuh. Yups, gue mempunyai prinsip di manapun gue berada, dan seberapapun berat kondisinya, gue tetap berusaha untuk mendirikan sholat. Bagiku, mendirikan sholat adalah sebuah kebutuhan demi sebuah ketenangan batin, menjaga amanah, dan agar selalu dekat dengan Sang Pencipta.

    Menikmati sun rise dengan pemandangan puncak Fishtail dan Annapurna adalah suatu yang priceless. Meskipun dingin menusuk tulang, dengan berbekal teh hangat gue duduk di balkon menikmati pemandangan super istimewa tersebut. Tentunya sambil berharap, “segeralah mentari bersinar.”

    Hari baru telah tiba. Mantari telah memancarkan sinarnya demi kehangatan kami. Cahaya keemasannya sangat elok tatkala dipantulkan oleh putihnya es yang ada dipuncak Annapurna. Now, the journey must go on! Setelah menikmati sarapan dengan menu nasi goreng telur, kamipun melanjutkan pendakian. Target kami dihari ini adalah sampai di Himalaya.

    Pengecekan dokumen di Chhomrong

    Tepat pukul 08.00, kami mulai pendakian. Di Desa Chhomrong ini juga terdapat pos pemeriksaan dokumen para pendaki. Apa saja yang diperiksa? Gue juga gak begitu paham hahaha. Lha udah diurus sama guide, gue termia beres aja. Tapi kalo gak salah adalah fotokopi passport, foto 3x4, dan biaya administrasi. Di pos pemeriksaan ini juga terdapat info perkiraan cuaca di sepanjang rute perjalanan menuju ABC. So, kita bisa berjaga-jaga dan mempersiapkan segala kebutuhan untuk menghadapi cuaca tersebut. Dan untungnya, cuaca dalam dua hari mendatang cerah, tidak ada badai! Alhamdulillah.

    Posisi Desa Chhomrong yang berada di atas bukit membuat kami harus menuruni tangga yang cukup curam untuk keluar desa. Jadi, kalau mau masuk Desa Chhomrong, kalian harus mendaki ribuan tangga. Terus kalo mau meninggalkannya, kalian harus menuruni ribuan tangga pula hahaha. Ada suatu hal yang membuat pikiranku tak tenang ketika menuruni tangga Chhomrong, yaitu bagaimana nanti pulangnya? Gila aja naik ribuan tangga ketika stamina udah ngedrop, nafas udah empot-empotan? Tapi pikiran itu gue enyahkan sekekita. Perjalanan masih jauh bung! Itu pikir nanti! Belum juga kami tiba di ABC udah mikirin perjalanan pulang. Kami masih harus melewati kampung Sinua, Bamboo, Dovan, Himalaya, Deuralli, dan MBC untuk bisa mencapai ABC.

    Jalur mulai keras bung!
    Setelah keluar dari desa Chhomrong, kami kembali dihadapkan dengan puluhan ribu tangga yang harus kami daki. Selama perjalanan menuju Sinua, di beberapa tempat kami masih bisa mendapatkan sinyal internet. Jika smartphone bergetar, langsung saja kami beristirahat. Lumayanlah bisa scrolling timeline, dan sesekali unggah foto hahaha. Diawal perjalanan hari kedua ini kami lalui dengan santai. Tak perlu terburu-buru. Kami perkirakan sampai di Himalaya sekitar pukul 17.00. *Namun apa yang terjadi? Simak cerita ini sampai habis.

    Setelah berjalan selama dua jam tiga puluh menit, kami akhirnya tiba juga di Sinuwa. Desa ini tak begitu besar. Hanya terdapat beberapa Tea House. Desa ini memang tidak menjadi tempat favorit untuk bermalam para pendaki. Selain karena pemandangannya yang tak seelok Chhomrong, lokasi desa ini juga kurang pas dengan jadwal perjalanan. Atau istilah gampangnya “nanggung”. Biasanya para pendaki hanya singgah sejenak, pesan minuman, atau hanya sekedar beristirahat mengatur nafas setelah melewati ribuan tangga lalu kembali melanjutkan pendakian.

    Monyet bergelantungan di pohon

    Setelah beristirahat sekitar satu jam, kami melanjutkan perjalanan. Waktu menunjukkan pukul 11.30. Perjalanan menuju Bamboo diperkirakan sekitar satu jam tiga puluh menit saja. Menurut gue perjalanan menuju Bamboo merupakan yang paling enak. Selain treknya yang cenderung datar, dibeberapa tempat gue juga melihat kerumunan monyet yang bergelantungan di sepanjang jalan. Takut? Ya takutlah! Monyetnya lumayan besar bro! Banyak pula! Kalo tiba-tiba nyerang gue kan repot. Tapi untungnya monyet-monyet tersebut baik-baik semua #mungkin. Mereka cuma ngintip kami dari balik pohon. Mungkin mereka spesies monyet pemalu ya? Hahaha.

    Setiap desa pasti ada papan seperti ini.

    Sekitar pukul 13.00 akhirnya kami tiba di desa Bamboo. Di sini kami akan makan siang sekaligus mengistirahatkan badan yang telah letih. How about lunch menu? Seperti biasa. Gak ada yang berbeda. Tak jauh-jauh dari pesan nasi goreng ataupun mie rebus hahaha. Cuaca siang itu terasa sangat nyaman. Matahari bersinar terang. Langit biru terbentang tanpa noda awan sedikitpun. Nyaman. Makan siang yang nyaman.

    Desa Bamboo
    Sekitar pukul 14.30 kami melanjutkan perjalanan menuju Dovan. Setelah perjalanan yang cukup nyaman dari Sinuwa ke Bamboo, kini kami kembali dihadapkan dengan tangg yang tak ada putus-putusnya menuju Dovan. Perjalanan terasa begitu lama dan melelahkan. Akhirnya sekitar pukul 16.30 kami tiba di Dovan. Kami sempat perpikir untuk bermalam di Dovan saja mengingat hari sudah sore. Namun, pertimbangan perjalanan esok yang pastinya akan lebih panjang membuat kami nekat untuk melanjutkan perjalanan menuju Himalaya.

    Sebenarnya, seletah dari Bamboo, tim kami terbagi menjadi 3 kelompok. Kelompok depan adalah Farhan dengan sang guide. Bening, Abu, dan sang porter ada jauh di belakang. Sedangkan gue berada di tengah-tengah sendirian. Jujur, speed gue gak terlalu cepat. Namun juga gue juga gak bisa jalan lambat. Kalo jalannya lambat, gue ngasa kalo malah tambah bikin capek coy! Gue pun memutuskan untuk jalan sendiri. “Toh jalannya udah jelaskan. Tinggal ikuti jalan berbatu dan ikuti kabel listrik sampai deh di desa selanjutnya,” pikir gue.

    Pukul 17.00 akhirnya gue bertemu sama kelompok depan yang udah menunggu di Upper Dovan. Di sini sang guide ditelpon oleh si porter, beliau memberi tau bahwa kelompok belakang udah gak kuat jalan lagi. Kakinya udah kram. Kami pun langsung memutuskan untuk bermalam di Upper Dovan. Sang guide pun menanyakan ke beberapa pemilik Tea House apakah ada kamar kosong atau tidak. Namun naas, sore itu semua kamar di Upper Dovan udah full. Setelah berembuk sebentar, kami memutuskan untuk tetap bermalam di Himalaya. Rencananya, sang guide mengantar kami sampai di Himalaya terlebih dahulu, lalu beliau kembali turun untuk menjemput kelompok belakang. Gila kan? Iya gila. Macam gak punya capek! Tapi itu kenyataan guys!

    Semakin jauh, medan yang dihadapi semakin beragam.

    Akhirnya sekitar pukul 17.15 kami melanjutkan perjalanan ke Himalaya. Karen stamina gue udah tipis, gue mempersilakan Farhan dan sang guide untuk jalan duluan. Tujuannya adala biar sang guide bisa segera sampai di Himalaya, booking kamar dan cepat kembali kebawah jemput kelompok belakang.

    Gue jalan sendirian. Langit udah semakin gelap. Ditambah lagi rimbunnya pepohonan disepanjang jalan semakin membuat suasana lebih horror. Gue kira hanya butuh sekitar tiga puluh menit hingga satu jam saja untuk sampai di Himalaya. Tapi ternyata, sampai pukul 17.45 gue belum juga nyampe di Himalaya. Gue sempat berpikir bahwa gue tersesat. Lha gimana lagi. Selama lima belas menit terakhir gue gak berpapasan dengan satupun orang. Terlebih lagi hutannya semakin lebat. Tanahnya semakin lembab. Udah seperti jalur yang telah lama gak dilewati orang. ”Astaga, jangan-jangan gue tersesat,” itulah yang ada dipikiran gue. Jaket dan segala perlengkapan penghangat badan gue dibawa sang porter lagi. Gila aja gue tidur di alam terbuka di tengah hutan Himalaya. Mati beku coy!

    Kurang lebih jalur Dovan - Himalaya seperti ini. Sore hari akan lebih gelap.

    Gue pun memutuskan untuk istirahat sejenak menenangkan pikiran. Tayamum dan sholat jamak Dzuhur dan Asar. Yups, gue sholat di tengah hutan Himalaya, sendirian, ketika langit udah menjelang maghrib. Yang ada di pikiran gue adalah jikalau gue tersesat dan mati, setidaknya gue udah sholat. Udah tobat dulu hahaha. Setelah pikiran agak tenang, gue melanjutkan perjalanan. Gilak, jalurnya semakin nanjak coy! Gue semakin frustasi. Tangganya gak berperikemanusiaan. Ditengah perjalanan, ketika matahari sudah tenggelam, gue melewati sebuah bangunan kecil dengan berbagai sesaji ada di dalamnya. Baunya harum lagi. Seketika badan gue merinding. Edyaaan! Ini kuburan coy! Ngeri!

    Malam semakin larut. Sumber penerangan gue hanyalah flash dari smartphone. Bukannya jalurnya semakin landai, justru malah tangganya semakin menjadi-jadi. Biar gak semakin frustasi, gue jalan sambil nunduk. Gue gak mau liat ke atas, ke tangga yang tak terlihat ujungnya. Lima menit, sepuluh menit berlalu. Dan gue masih belum melihat tanda-tanda bahwa gue hampir sampai di Himalaya. Meskipun stamina gue udah terkuras habis, kaki gue udah pegel-pegel, dan rasa frustasi menjadi-jadi, tetapi otak gue bialang, “terus jalan, ayo terus jalan. Jangan berhenti!“

    Nafas semakin berat. Oksigen semakin menipis. Udara dingin menusuk tulang. Menembus jaket tipis yang gue kenakan.

    “Ayolah, lampu mana lampu. Kok belum juga keliatan sih?.”

    Dipikiran gue, kalau sudah terlihat lampu berarti gue sudah hampir sampai. Setelah berjalan sempoyongan sekitar tiga puluh menit, akhirnya gue melihat cahaya lampu dikejauhan. “Alhamdulillah. Gue gak tersesat!” Karena sudah melihat tanda-tanda kehidupan, guepun berhenti sejenak. Beristirahat setelah lelah berjalan, meniti tangga yang tak berujung. Setelah berusaha keras mengerahkan sisa-sisa tenaga, sekitar pukul 19.00 guepun tiba di Himalaya Tea House.

    Kebahagiaan tak terperikan setelah gue melepaskan tas dan berbaring di kasur. “Alhamdulillah gue gak kesasar. Gue masih bisa berselimut hangat!”. Kalimat tersebut terus terulang-ulang dipikiran gue. Sekarang tinggal menunggu kelompok belakang yang masih dalam perjalanan. Setelah menunggu cukup lama, sekitar pukul 19.45 akhirnya mereka tiba juga. Alhamdulillah kondisi mereka gak terlalu buruk. Setelah mereka istirahat sejenak, kamipun langsung pergi ke kantin untuk makan malam. 27 Desember 2019, sungguh menjadi hari yang sangat berat dalam hidup gue.

    Tumpukan es di salah satu sudut Himalaya Tea House.



    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Haedar Ardi Aqsha. Statistisi. Traveller. Writer. Pecinta Sepak bola. Gooner

    email: aqsha.kral10@gmail.com / haedar.ardi@gmail.com

    Follow Me

    • facebook
    • twitter
    • instagram

    Labels

    ABROAD CERITA DI PAPUA CERITA KULIAH CERITA MASA KECIL CERITA SMA CERPEN HEART MELODY MELANCONG Metode Statistik OPINI PIALA DUNIA 2018 Sesuatu Banget SINOPSIS SURVEI CONTOH Wawasan

    Followers

    Blog Archive

    • ▼  2020 (9)
      • ►  September 2020 (2)
      • ▼  June 2020 (4)
        • SINOPSIS : AYAH
        • CATATAN PERJALANAN KE ANNAPURNA BASE CAMP (HIMALAY...
        • CATATAN PERJALANAN KE ANNAPURNA BASE CAMP (HIMALAY...
        • CATATAN PERJALANAN KE ANNAPURNA BASE CAMP (CHHOMRO...
      • ►  May 2020 (2)
      • ►  January 2020 (1)
    • ►  2019 (7)
      • ►  November 2019 (1)
      • ►  August 2019 (3)
      • ►  July 2019 (1)
      • ►  March 2019 (1)
      • ►  January 2019 (1)
    • ►  2018 (17)
      • ►  September 2018 (2)
      • ►  August 2018 (4)
      • ►  July 2018 (5)
      • ►  June 2018 (3)
      • ►  May 2018 (2)
      • ►  February 2018 (1)
    • ►  2017 (2)
      • ►  October 2017 (1)
      • ►  August 2017 (1)
    • ►  2014 (6)
      • ►  December 2014 (1)
      • ►  October 2014 (1)
      • ►  September 2014 (1)
      • ►  April 2014 (1)
      • ►  March 2014 (1)
      • ►  February 2014 (1)
    • ►  2013 (10)
      • ►  December 2013 (2)
      • ►  October 2013 (1)
      • ►  August 2013 (1)
      • ►  July 2013 (1)
      • ►  June 2013 (3)
      • ►  March 2013 (1)
      • ►  January 2013 (1)
    • ►  2012 (26)
      • ►  December 2012 (2)
      • ►  November 2012 (2)
      • ►  October 2012 (3)
      • ►  September 2012 (1)
      • ►  August 2012 (3)
      • ►  July 2012 (3)
      • ►  June 2012 (1)
      • ►  May 2012 (3)
      • ►  April 2012 (2)
      • ►  March 2012 (3)
      • ►  February 2012 (1)
      • ►  January 2012 (2)
    • ►  2011 (12)
      • ►  December 2011 (2)
      • ►  November 2011 (3)
      • ►  October 2011 (2)
      • ►  September 2011 (1)
      • ►  August 2011 (4)

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top