Halaman : xxvii + 324 hal
Diterbitkan oleh : Republika Penerbit
Penulis : Irfan Hamka
Sebagai tokoh nasional yang masyhur, tentunya
banyak orang yang ingin mengetahui kehidupan dari Dr. Haji Abdul Malik Karim
Amrullah atau yang lebih dikenal dengan Buya Hamka. Pria yang lahir di
Maninjau, Sumatera Barat pada tanggal 17 Februari 1908 memang memiliki banyak
sisi kehidupan yang menarik dan patut diteladani. Oleh karena itu, banyak
penulis yang ingin mengabadikan perjalanan hidup Hamka ke dalam sebuah buku.
Sebuah buku karya Irfan Hamka yang
berjudul Ayah ini menceritakan kehidupan seorang Buya Hamka. Dalam buku ini,
selain sebagai penulis, Irfan juga berkedudukan sebagai anak ke lima dari
pasangan Hamka dengan Hajah Siti Raham Rasul. Tentunya dalam penceritaannya,
unsur subjektivitas tidak bisa terelakkan mengingat beliau adalah seorang anak.
Namun, itu semua tidak mengurangi keindahan
akhlak, perjuangan, serta nilai-nilai yang ada dalam diri Hamka.
Cerita-cerita dalam buku ini, selain
dari pengalaman langsung sang penulis, juga terdapat beberapa cerita dari teman-teman
maupun kerabat Buya Hamka. Ditambah lagi sumbangsih cerita dari sanak saudara
yang memiliki kehidupan sangat dekat dengan Hamka, membuat buku ini menguak
beberapa kepribadian ataupun kejadian yang tidak diketahui khalayak umum.
Cerita dalam buku ini bermula dari
ketika Irfan berumur lima tahun. Kenangan masa kecilnya dipenuhi dengan
perjuangan berpindah-pindah tempat tinggal agar sang ayah tidak tertangkap oleh
pihak Belanda. Ya, selama tahun 1947, Hamka memang disibukkan dengan
usaha-usaha mempertahankan kemerdekaan. Beliau berkeliling Sumatra bagian tengah
untuk menghimpun kekuatan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Tekat
beliau begitu membara. Beliau rela keluar masuk hutan, berpindah dari satu tempat
ke tempat yang lain agar tidak tertangkap oleh Belanda.
Kepindahan Hamka ke Jakarta pada
tahun 1950, membuat karir beliau semakin melejit. Setelah diterima menjadi
Pegawai Negeri Sipil (PNS) di kementerian Agama, lima tahun berselang beliau
terpilih menjadi anggota Konstituante Republik Indonesia. Selama tahun
1955-1957 inilah beliau berkecimpung didunia politik.
Salah satu momen paling menarik dalam
buku ini adalah ketika Hamka, beserta sang istri dan Irfan menjalankan ibadah
haji ditahun 1968. Perjalanan ke Tanah Suci yang masih menggunakan kapal laut
tersebut memakan waktu sekitar tiga belas hari.Banyak kenangan manis maupun
pahit bersama sang ayah dan umi selama perjalanan menuju Mekah. Selain singgah
dibeberapa kota besar dan berkeliling sambil menikmati kuliner khas daerah
tersebut, selama perjalanan mereka juga mendapati peristiwa-peristiwa yang gak
bisa ditemui ketika di darat, salah satunya adalah prosesi pemakaman jamaah
haji yang meninggal dunia di kapal. Proses pemakamannya yang sangat berbeda
dari biasanya, yaitu dengan cara menenggelamkannya di tengah laut, menjadikan
peristiwa tersebut tak akan terlupakan.
Momen haji ini pun dimanfaatkan oleh
Hamka, umi, dan Irfan untuk berkeliling negeri Arab, mulai dari Mesir, Suriah,
Lebanon, hingga Irak. Sosok seorang pemikir dan ulama yang melekat pada diri
Hamka membuatnya diundang oleh beberapa kedutaan besar negara Arab untuk
mengisi pengajian.
Hal yang menyenangkan dari perjalanan
ini tentunya adalah dapat berkeliling sambil menikmati kehidupan negeri Arab. Beberapa
kebiasaan unik seperti kebiasaan orang mesir makan wortel di jalanan, hingga
kota Lebanon, Beirut yang memiliki berbagai dimesi kehidupan.
Namun selama perjalanan yang memakan
waktu sekitar satu minggu tersebut, mereka juga mengalami beberapa kejadian
buruk. Kejadian buruk tersebut dimulai dengan turbulensi parah selama
penerbangan dari Suriah ke Irak yang membuat tekanan darah umi naik drastis.
Kejadian tersebut menimbulkan trauma sekaligus membuat kesehatan umi drop.
Karena memperhitungkan kesehatan umi sekaligus masih ada rasa trauma turbulensi
dari mereka bertiga, akhirnya mereka kembali ke Mekah dengan menggunakan mobil.
Perjalanan tersebut memakan waktu tiga
hari empat malam dengan melintasi padang pasir terluas kedua di dunia. Selama
perjalanan tersebut, setidaknya tiga kali sang penulis bersama sang ayah dan
umi dihadapkan dengan kematian. Yang pertama adalah dikejar badai pasir. Yang
kedua adalah nyaris terjadi kecelakaan ketika sang sopir mengantuk. Dan yang
ketiga adalah ketika mereka nyaris tersapu oleh air bah ketika melintasi gunung
granit. Ada yang menarik ketika semua itu terjadi. Meskipun bahaya sudah
didepan mata, Hamka tetap tenang, berdzikir dengan menyebut nama Allah. Dan
seketika itu pula mara bahaya yang nyaris merenggut nyawa mereka urung terjadi.
Sungguh suatu keimanan dan ketenangan yang luar biasa.
Buku ini juga menceritakan
menceritakan keteladanan Buya Hamka yang perlu dicontoh oleh generasi-generasi
selanjutnya. Dibalik sifat pemaaf, penyayang, dan sabar, beliau juga seorang
yang tegas, tanpa kompromi. Ketegasan dan sifat tanpa kompromi tersebut selalu
dikeluarkan oleh Hamka tatkala beliau bersentuhan dengan masalah akidah dan
nahi mungkar. Salah satu contohnya adalah tatkala beliau rela mundur dari
jabatan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) lantaran enggan mengubah fatwa yang
telah ia keluarkan.
Adapun sifat pemaaf beliau tercermin
dari kemauannya menjadi imam sholat jenazah Soekarno meskipun ditahun 1962,
Hamka dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Selain itu, permintaan terakhir
Moh. Yamin untuk bimbingan Hamka dikala akhir hayatnya juga dipenuhi oleh Hamka
meskipun dalam beberapa tahun terakhir Moh. Yamin sangat benci dengan Hamka
lantaran perbedaan faham ideologi. Serta beliau menerima menantu Pramoedya Anantatoer
untuk menjadi muridnya untuk belajar agama islam.
Membaca dan menulis merupakan ruh
dari Hamka. Ratusan karya telah diterbitkan, mulai dari buku agama, roman,
maupun artikel-artikel yang dimuat di majalah. Bahkan buku Tafsir Al Azhar
menjadi rujukan utama para ulama untuk mempelajari tafsir Al Quran. Bahkan roman
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Dibawah Lindungan Kakbah telah diangkat
dilayar lebar dan mendapatkan apresiasi tinggi dari masyarakat Indonesia.