NERACA PERDAGANGAN KIAN TERPOJOK
August 03, 2019
(Dimuat di Koran Jakarta, 7 Mei 2019)
Pesta
demokrasi akbar rakyat Indonesia telah usai. Siapapun yang terpilih meduduki
kursi presiden dan wakil presiden nantinya, harus siap dengan berbagai
tantangan yang akan dihadapi dalam memimpin bangsa Indonesia. Bayang-bayang
merosotnya pertumbuhan perekonomian global ditahun 2019 merupakan salah satu tantangan
yang telah menanti di depan.
Berdasarkan
publikasi dari International Monetary
Fund (IMF) yang berjudul World
Economic Outlook, pertumbuhan ekonomi global ditahun 2019 diperkirakan
hanya sekitar 3,3%. Angka tersebut jauh lebih rendah dari capaian pertumbuhan
ekonomi global tahun 2018 silam yang diperkirakkan mencapai 3,6%. Proyeksi
pertumbuhan ekonomi global yang jauh menurun dari pada pertumbuhan ekonomi
tahun 2018, disebabkan karena belum meredanya perang dagang antara China-AS,
ancaman Brexit, serta pengetatan keuangan global.
Pemerintah
Indonesia sendiri menargetkan pertumbuhan ekonomi ditahun 2019 mencapai angka
5,3%. Namun, dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dalam dan luar
negeri, target tersebut rasanya sulit untuk direalisasikan. Hal tersebut
bukannya tanpa alasan, salah satu komponen penyumbang pertumbuhan ekonomi,
yaitu surplus eksport masih jauh dari kenyataan. Bayang-bayang defisit neraca
perdagangan masih menghantui Indonesia.
Setelah
mengalami defisit neraca perdagangan yang mencapai 8.566,4 juta dolar AS di
tahun 2018, kini neraca perdagangan Indonesia belum juga menunjukkan perbaikan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ditriwulan pertama tahun 2019, neraca
perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar yaitu 193,4 juta dola AS. Angka
tersebut masih berpotensi untuk terus membengkak seperti halnya ditahun 2018
silam.
Dua Batu Sandungan
Mengembalikan
tren neraca perdagangan ke jalur positif ditengah keaadaan perekonomian dunia
yang penuh ketidakpastian merupakan sebuah pekerjaan yang tidak mudah. Menekan
impor saja tidak mampu untuk membuat neraca perdagangan kembali ke jalur
positif. Padahal, berbagai kebijakan untuk mengerem laju impor sudah
diberlakukan, diantaranya adalah penerapan B20, menaikkan pph impor terhadap 1.147
komoditas, hingga penundaan beberapa program pembangunan infrastruktur yang mayoritas
membutuhkan bahan baku impor.
Bercermin
dari pengalaman ditahun 2018, selain berusaha menekan laju impor, pemerintah
juga harus menstimulus laju ekspor. Jika melihat empat tahun ke belakang
(2015-2018), pertumbuhan ekspor Indonesia cukup memprihatikan. Selama empat
tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan laju ekspor Indonsia hanya sekitar 5%
setiap tahunnya. Laju pertumbuhan ekspor tersebut tersebut jauh lebih rendah
dibanding laju pertumbuhan impor yang mencapai 11,47% setiap tahunnya.
Berdasarkan
data tersebut, mau tidak mau pemerintah harus menggenjot ekspor. Namun, untuk
menggenjot ekspor ditahun 2019 tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Kedua
komoditas andalan yang menopang ekspor Indonesia nasibnya sedang berada diujung
tanduk. Batubara dan Crude Palm Oil (CPO)
diprediksi akan mengalami penurunan permintaan ekspor sepanjang tahun 2019.
Penyebab
pertama adalah mitra dagang terbesar Indonesia, yaitu China diprediksi akan
mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi ditahun 2019. Awal bulan maret lalu,
Perdana Mentri China, Li Keqiang dalam pembukaan parlemen tahunan negara,
menyampaikan bahwa target pertumbuhan ekonomi China berada dikisaran 6% - 6,5%.
Target tersebut lebih rendah daripada realisasi pertumbuhan ekonomi China
ditahun 2018 yaitu 6,6% yang merupakan pertumbuhan terendah sejak 1990.
Indonesia
harus waspada dalam menyikapi melemahnya pertumbuhan ekonomi China. Selama ini
China merupakan pangsa ekspor terbesar Indonesia. Ditahun 2018 silam, sekitar 15%
dari total ekspor Indonesia bermuara ke China. Terlebih lagi, mayoritas
komoditas yang diekspor ke China adalah batubara dan CPO.
Selain
masalah pertumbuhan ekonomi China yang melambat, performa ekspor Indonesia juga
dihantui pangsa pasar CPO yang semakin
menyempit. Setelah India meberlakukan bea impor CPO yang cukup tinggi mulai bulan Maret 2018 silam, kini Uni Eropa sedang
melakukan penjajakan kebijakan tidak direkomendasikannya CPO sebagai bahan bakar nabati di wilayah Eropa. Meskipun keputusan
resmi pelarangan CPO sebagai bahan
bakar nabati di Eropa masih menunggu sidang jajak pendapat pada tanggal 5 Mei 2019,
namun jika kebijakan tersebut resmi disahkan, tentunya akan menjadi pukulan
telak bagi Indonesia karena Uni Eropa merupakan pangsa ekspor CPO kedua Indonesia setelah India.
India
dan Eropa merupakan dua pangsa pasar ekspor CPO
terbesar bagi Indonesia. Sepanjang tahun 2017, ketika India belum mengenakan
tarif bea impor CPO, total ekspor CPO Indonesia ke India mencapai 7,63
juta ton. Namun, setalah diberlakukannya bea impor, ekspor CPO Indonesia ke India menurun drastis. Tercatat ditahun 2018
ekspor CPO Indonesia ke India hanya
6,71 juta ton atau turun 12% dari tahun sebelumnya.
Belum
juga permasalahan dengan India selesai, kini muncul permasalahan baru di Eropa.
Bahkan kondisi di Eropa lebih buruk daripada di India. Jika India hanya
membebankan adanya bea impor, Uni Eropa justru berpeluang untuk menutup pintu
kran impor CPO. Jika hal terburuk itu
terjadi, ini menjadi pukulan telak bagi Indonesia.
Melihat
kondisi yang ada sekarang ini, memperluas pangsa pasar dan variasi komoditas
ekspor harus segera diupayakan. Selama ini, 70% ekspor Indonesia bergantung
kepada lima negara saja, yaitu China, Jepang, AS, India dan Singapura. Dengan
melihat prospek ekonomi negara-negara tersebut, sudah selayaknya Indonesia
memperluas mitra-mitra dagang baru. Negara-negara Afrika bisa menjadi
alternatif pasar ekspor. Beberapa negara di Afrika yang memiliki pangsa pasar
cukup menjanjikan, seperti Afrika
Selatan, Kenya, maupu Nigeria.
Selain
itu, pemerintah juga harus mampu menambah variasi komoditas ekspor andalan. Dengan
diluncurkannya peta jalan revolusi industri 4.0 tahun lalu, diharapkan sektor
manufaktur Indonesia kedepannya dapat lebih bersaing dengan negara-negara maju.
Telah ditetapkannya lima sektor prioritas, yaitu industri makanan dan minuman, tekstil
dan pakaian, otomotif, elektronik, serta kimia diharapkan mampu mendongkrak
ekspor Indonesia. Semua itu tidak mustahil jika terjalin kerjasama yang baik
antarkementrian dan kesadaran bangsa Indonesia untuk terus maju dan berbenah.
0 komentar