KERINDUAN (JUARA 3 LOMBA RAMADHAN MENULIS BPS 2019)
August 03, 2019![]() |
Cinta dan Kerinduan |
“Pace,
perjalanan masih jauhkah?” tanyaku dengan nafas tersengal-sengal.
“Sebentar
lagi sampai nak, tinggal melewati dua bukit lagi.”
“Apa?
Masih dua bukit lagi? Pace, kau jawab
yang serius! Sa pu kaki su mau patah-patah ni.”
“Sa serius, mungkin tiga jam lagi tong sampai.”
“Mamayo!”
Siang
itu adalah hari ke tiga perjalananku dengan Simbar menuju kampung Oya, salah
satu kampung pedalaman di Kabupaten Nduga. Sungguh sebuah perjalanan yang tidak
ringan. Menyusuri rimbunnya hutan Papua, menyeberangi derasnya sungai, hingga
bermalam hanya dengan bermodalkan sleeping
bag untuk menahan dingin. Begitulah secuil gambaran perjuangan pegawai BPS untuk
mencari data di daerah terpencil. Tujuh hari kami berada di hutan Papua, enam
hari untuk perjalanan dan satu hari untuk mendata.
Tepat
sehari sebelum memasuki bulan puasa, akhirnya perjalananku usai. Tanpa
mempedulikan rasa capek, aku langsung menelpon ibu. Mengabarinya,
memberitahukan bahwa aku telah kembali dengan selamat. Beliaulah orang yang
paling khawatir ketika aku meminta izin akan melakukan perjalanan jauh ke
pedalaman.
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam,
bu mamas sudah sampai di rumah”
“Alhamdulillah,
pendataannya lancarkan?”
“Alhamdulillah
lancar bu, perjalanannya seru,” jawabku basa-basi agar ibuku tidak khawatir
dengan keadaanku yang sedang KO berat.
“Kamu
lebaran nanti jadi pulang nak?” tiba-tiba ibu mengalihkan pembicaraan.
“Hm, belum tahu bu, Mamas masih bingung.
Tiket pesawat mahal sekali. Mamas eman
dengan uangnya kalau cuma pulang selama satu minggu.”
“Lha memang tidak bisa disambung dengan
cuti tahunan?”
“Tidak
bisa bu. Tidak dibolehkan mengambil cuti tahunan setelah lebaran. Mungkin mereka
yang membuat peraturan seperti itu belum pernah merasakan merantau ke Papua!” jawabku
dengan kesal.
“Sabar
nak, jangan marah-marah, nanti cepat tua lho!
Memang sekarang tabunganmu tidak cukup untuk beli tiket pulang?”
“Kalau
untuk sekedar pulang sih cukup, tetapi nanti tabunganku habis. Masa jauh-jauh
kerja di Papua rekening tabungan kosong,” awabku masih dengan penuh emosi.
“Ya
sudah, tidak apa-apa. Asalkan kamu selalu sehat, itu sudah cukup bagi ibu. Di
sana sudah jam sepuluh malam ya? Ibu tutup ya, jangan lupa sebelum tidur minum
susu dulu. Assalamualaikum”
“Inggih bu, waalaikumsalam.”
Jam
telah menunjukkan pukul sebalas malam, namun kedua mataku ini belum juga
terpejam. Pikiranku sibuk dengan percakapan tadi bersama ibu. Firasatku
mengatakan bahwa ibu sangat rindu denganku. Ibu ingin mengatakan “pulanglah
nak!” tetapi ibu tidak tega dengan keadaanku. Aku mencoba mengingat percakapan tadi
lebih detail. Aku tersadar, suara ibu bergetar ketika akan menutup telepon tadi.
Apakah ibu menangis? Apakah ada perkataanku yang membuat ibu terluka?
Pikiranku
semakin kacau. Aku putuskan untuk menonton video ceramah salah satu ustad
favoritku, siapa tahu bisa menenangkan hati dan pikiranku. Aku memilih tema memuliakan
kedua orang tua. Malam itu aku hanyut dalam rasa bersalahku kepada ibu.
Tiba-tiba
saya terhentak ketika sang ustad mengutip sebuah ayat Al Quran, surah Alisra
ayat 23 yang artinya,
“Jika
salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan “ah” dan janganlah
kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
Seketika
tubuh ini bergetar hebat. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung memesan tiket
pulang. Aku berharap kepulanganku menjadi kado yang manis dibulan Ramadan, dan
semoga mampu menyegarkan kembali keimanan kami.
0 komentar