"AQSHA KRAL"

Tempat Berbagi dan Bertukar Inspirasi

    • Home
    • RECEHAN
    • _CERITA MASA KECIL
    • _CERITA SMA
    • _CERITA MASA KULIAH
    • _CERITA DI PAPUA
    • _ABROAD
    • BERBAGI
    • _SINOPSIS
    • _OPINI
    • CERPEN
    • MELANCONG

    Selamat Datang!

    Siapa sih yang gak tau Raja Ampat? Pastinya kalian taulah ya dengan ikon wisata Papua Barat yang terkenal dengan Piyanemonya itu. Namun, sebelum tahun 2010, siapa sih yang tau Raja Ampat? Saya yakin hanya segelintir orang yang tau tentang kekayaan bahari Raja Ampat.

    Titik balik dari dunia pariwisata Raja Ampat adalah tatkala kabupaten ini sukses menyelenggarakan event Festival Raja Ampat yang pertama pada tahun 2010. Setelah itu, nama Raja Ampat menjadi terkenal dan terekspose hingga keluar negeri. Tak heran jika sekarang ini Raja Ampat menjadi booklist para wisatawan mancanegara.

    Sekarang saya mau tanya ke kalian. Adakah dari kalian yang pernah mendengar Pulau Roon? Saya yakin kalian pasti gak ada yang pernah mendengar kan? Yaaa, wajar aja sih. Kan pulau ini hanyalah pulau kecil di Kabupaten Teluk Wondama. Namun, pulau ini menyipan segudang potensi pariwisata yang tak kalah dengan Raja Ampat. Untuk mengenalkannya ke masyarakat luas, pemerintah setempat mengadakan event Festival Pulau Roon yang tahun ini merupakan yang kedua kalinya. Memang festival ini tak sebesar dan semeriah Festival Raja Ampat. Tapi, pesona yang disuguhkan Pulau Roon saya jamin tidak kalah menawan.

    Perlu perjuangan yang cukup besar untuk mencapai pulau ini. Jika kalian berangkat dari Jakarta, setidaknya memerlukan waktu sekitar 18 jam perjalanan udara dan laut. Itupun jika kalian memilih hari perjalanan yang pas dengan jadwal kapal Manokwari-Wasior. Jika kalian salah pilih hari, mau tidak mau kalian harus menginap dulu di Manokwari sambil menunggu jadwal kapal yang akan berangkat menuju Wasior, Kabupaten Teuk Wondama. So, sebelum kalian plesiran ke Festival Pulau Roon tahun depan, alangkah baiknya kalian terlebih dahulu melihat jadwal kapal dari Manokwari menuju Wasior, agar kalian tidak perlu menginap di Manokwari hanya untuk menunggu jadwal kapal.
    Festival Pulau Roon yang ke dua diselenggarakan pada tanggal 24-27 Juli 2019 yang terpusat di kawasan Pantai Wasasar, Kampung Mena, Distrik Roon. Untuk dapat mengikuti acara Festival ini, ada tiga pilihan paket yang disediakan oleh panitia, yaitu:

    ·       Paket I dengan harga 800.000. Adapun fasilitas yang akan anda dapatkan meliputi homestay di area Pantai Wasasar, trip menuju Pulau Matas dan Ular Seremi, makan sepuasnya (disediakan dapur umum), serta beberapa cenderamata.
    ·       Paket II dengan harga 500.000. Adapun fasilitas yang didapatkan adalah homestay di kampung Niab, trip disekitar Pulau Roon (Munamberi, Gereja Tua, dan batu doa Biak), makan sepuasnya, kaos dan botol minum.
    ·       Paket III dengan harga 300.000. Untuk yang ini saya tidak begitu tau fasilitas apa saja yang didapatkan. Paling cuma makan gratis sama kaos dan botol minum hahaha.


    Adapun jadwal susunan acara selama perhelatan Festival Roon bisa kalian lihat di poster berikut.



    Karena saya masih harus masuk kantor pada hari rabu, tanggal 24 Juli, saya dan beberapa teman kantor memutuskan untuk berangkat menuju Festival Pulau Roon pada hari kamis. Toh juga pada hari rabunya tidak ada acara besar yang menarik karena festival ini baru dibuka secara resmi oleh Wakil Bupati pada kamis pagi.

    Kamis, 25 Juli 2019, pukul 07.30 kami sudah berada di pelabuhan Kuri Pasai, Wasior, untuk bersiap menuju ke Pulau Roon. Ketika itu, panitia dan pemerintah kabupaten Teluk Wondama menyediakan fasilitas transportasi berupa kapal penyeberangan utuk mengangkut masyarakat Wasior yang ingin mengikuti festival Pulau Roon. Dibutuhkan sekitar 1 jam 15 menit perjalanan laut untuk menuju Kampung Yende (Ibukota Distrik Roon). Kenapa harus singgah dulu di Kampung Yende? Kok gak langsung ke Pantai Wasasar saja? Kan acaranya ada di Pantai Wasasar! Ya karena di Wasasar gak ada dermaga yang bisa buat bersandar kapal ukuran 30 x 8 meter. Di sana cuma ada dermaga kayu yang hanya bisa ditambati perahu-perahu kecil saja.

    Tarian penyambutan tamu

    Ketika kami tiba di Kampung Yende, kami disambut dengan tarian penyambutan tamu khas masyarakat Pulau Roon. Alunan musik tradisional berupa tifa dan seruling semakin membawa kami hanyut ke dalam nuansa budaya mereka. Tua, muda, hingga anak-anak semuanya antusias ikut memeriahkan gelaran akbar ini yang saya yakin jika event ini diselenggarakan setiap tahunnya, kelak akan mendongkrak value Pulau Roon.

    Perahu tradisional khas masyarakat Pulau Roon

    Perahu adalah transportasi utama masyarakat Pulau Roon

    Ingat ya, lokasi utama Festival Pulau Roon 2019 bukan di Kampung Yende, melainkan di Pantai Wasasar, Kampung Mena. Dari Kampung Yende, kami masih harus menaiki perahu kecil untuk menuju kesana. Tapi tenang saja, panitia telah menyediakan kebutuhan transportasi bagi para peserta kok. Masyarakat di sini juga dengan senang hati mengantar kita untuk mobilisasi ke sekitar lokasi (Kampung Yende, Pantai Wasasar, Kampung Niab).

    Homestay di Pantai Wasasar

    Homestay di sepanjang Pantai Wasasar

    Hanya butuh waktu perjalanan sekitar 10 menit untuk menuju Pantai Wasasar. Dari kejauhan, terlihan homestay-homestay tradisional berjejer rapi ditepi pantai. Umbul-umbul dengan tulisan baik Bahasa lokal, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris meanmbah kesan meriah festival tahunan ini. Sebuah panggung utama terlihat megah berdiri simetris ditengah garis pantai dengan dikelilingi oleh bangku-bangku penonton. Persis seperti arena pertunjukan tari Barong yang ada di Bali.

    Setibanya kami di Pantai Wasasar, kembali kami disambut tarian tradisional. Tetapi, kali ini tariannya lebih brutal. Sekawanan laki-laki  dengan badan dilumuri cat hitam, dengan membawa parang dan panah mereka berteriak-teriak seakan mau membunuh kami. Menyeramkan!

    Tari Perang

    Ternyata kebrutalan mereka ketika menyambut kami merupakan bagian dari serangkaian tari penyambutan yang biasa disebut Tari Perang. Tarian ini menceritakan tentang kondisi masyarakat Roon sebelum seorang pendeta dengan membawa ajaran Injil masuk ke wilayah mereka. Kondisi masyarakat ketika itu masih sangat primitif. Perang saudara seakan menjadi rutinitas bagi mereka. Tak jarang nyawa menjadi taruhannya. Dan tentu saja nyawa harus dibalas dengan nyawa! Sehingga rantai dendam turun temurun dari generasi ke generasi yang membuat mereka tak pernah hidup damai.

    Berpuluh-puluh tahun mereka hidup dengan tradisi primitif, tidak ada agama, tidak ada aturan, hanya ada siapa yang kuat, dia yang menang. Seiring berjalannya waktu, tradisi primitif tersebut mulai menghilang. Titik baliknya adalah tatkala ada seorang pendeta yang datang ke Pulau Roon dengan membawa ajaran Injil. Beliau berdakwah ditengah masyarakat meskipun kondisi masyarakat ketika itu bebal dengan nilai agama. Dengan jerih payah sang pendeta, sedikit demi sedikit masyarakat Pulau Roon mulai tercerahkan. Namun, ada kelompok masyarakat yang terang-terangan menolak ajaran tersebut. Intimidasi terhadap pendeta terjadi setiap harinya. Hingga suatu waktu, ketika terjadi perang besar antara dua suku besar di Pulau Roon, seorang anak dari salah satu suku terbunuh. Duka pilu menyelimuti keluarga korban. Ingat, nyawa harus dibayar dengan nyawa! Rantai dendampun terus berlanjut. Namun, disitulah sang pendeta mengajarkan kepada masyarakat yang bertikai tersebut arti tentang sebuah perdamaian. Akhirnya, karena usaha yang tak mengenal putus asa dari sang pendeta tersebut, kedua suku besar yang sudah saling bermusuhan dari generasi ke generasi tersebut akhinya berdamai.

    Pantai Wasasar yang biasanya sepi, sekarang berubah menjadi ramai. Sekitar seribuan orang yang datang dari berbagai daerah mulai dari Jakarta, Manokwari, maupun sekitaran Distrik Roon tumpah ruah di sepanjang garis pantai. Terlihat beberapa stand menjajakan makanan ataupun kerajinan tangan khas buatan masyarakat Pulau Roon. Puluhan masyarakat berpakaian  tradisional berseliweran menunggu jadwal mereka tampil di panggung utama. Dengan senang hati mereka melayani para wisatawan untuk berfoto ataupun mengobrol mengenai berbagai hal, apapun itu. Tapi kalian jangan sekali-kali menanyakan tanggapan mereka mengenai peluang Indonesia dalam menghadapi era perang dagang ya! Kasihan mereka, nanti pusing Hehehe.


    Foto bareng para penari tradisional

    Ngobrol bareng emak-emak Papua tentang nikah adat

    Matahari telah condong ke barat. Kamipun memutuskan untuk beristirahat ke homestay. Karena paket yang 800.000 habis, kamipun terpaksa beli yang paket 500.000. Konsekuensinya adalah tempat homestay kami jauh dari main event digelar. Kami kembali harus naik perahu untuk menuju homestay kami yang berada di Kampung Niab. Ternyata oh ternyata, homestay kami berbeda dengan homestay yang ada di Pantai Wasasar. Kami diinapkan di rumah-rumah warga. Dan kamipun masih harus serumah dengan pemilik rumah, berbagi kamar.

    Sebenarnya, kami agak kecewa. Waktu itu, yang ada dipikiran kami adalah homestay yang akan kami tinggali sama dengan yang berada di Pantai Wasasar, berupa rumah tersendiri khusus bagi para wisatawan, Tapi ternyata reality nya kami harus berbagi rumah dengan warga sekitar. Bukannya kami enggan untuk berbaur dengan mereka, namun kalau kami satu rumah dengan pemilik rumah bukannya akan membatasi kebebasan kami? Tujuan kami untuk mengikuti Festival Roon adalah untuk bersenang-senang bersama kerabat, refreshing dari kepenatan rutinitas, tanpa ada halangan ataupun rasa yang membatasi ekspresi kami.

    Sore itu, setelah kami meletakkan barang-barang kami sekaligus mandi dan sedikit istirahat, kami kembali ke Pantai Wasasar. Malam nanti ada pentas seni persembahan dari masyarakat Distrik Roon berupa tarian-tarian tradisional dan dimeriahkan oleh penyanyi nasional Sandi Betay. Untungnya malam itu langit bersahabat dengan kami. Meskipun berawan, hujan enggan enggan turun sebelum acara kami selesai. Tepat pukul 22.00 WIT acara di panggung utama selesai. Kamipun kembali ke homestay kita masing-masing.

    Suasana malam hari di Pantai Wasasar
    Pentas seni

    Cerita hari pertama belum selesai sampai di sini. Mari kita lanjutkan!

    Setelah kami sampai di homestay, kamipun bergegas untuk bersih-bersih, cuci muka, wudhu dan tentunya buang air kecil. Ketika itu kami bingung, kami berkeliling-keliling rumah kok gak ada kamar mandinya. Lantas kami langsung bertanya kepada pemilik rumah, “Kamar mandi di mana ya pak?”

    Bapaknya bukannya menjawab malah langsung keluar dari pintu belakang. Hanya dalam hitungan detik, bapak tadi masuk ke rumah dengan membawa selang air. Ternyata oh ternyata, di rumah ini gak ada kamar mandinya! Dengan canggung kamipun menggosok gigi dan cuci muka di dalam rumah tanpa ada ruangan khusus. Gila bro! gue gak bohong! Kami gosok gigi, cuci tangan dll di ruang tengah rumah. Lho, kok bisa? Emang nanti gak becek? Ya enggak lah, rumah-rumah di sini semuanya berupa rumah panggung yang terbuat dari kayu. Jadi, kalaupun kita mandi di dalam rumah, airnya akan langsung terbuang keluar melalui celah-celah lantai kayu.

    Trus kalau mau pipis gimana dong? Masa pipis disitu juga sih? Ya enggak lah. Gile lu ndro kalo pipis juga di situ, pesing! Kalau mau pipis ataupun buang air besar, kalian harus keluar rumah dulu, cari WC umum hahaha. Lho, jangan ketawa gitu dong! Di sini emang desain rumahnya enggak ada kamar mandinya. So, dibangunlah beberapa toilet dan kamar mandi umum untuk beberapa rumah tangga. Ya begitulah bro kehidupan di Kampung Niab.

    Akhirnya, hari perta Festival selesai juga. Saatnya kami tidur. Sampai jumpa besok di hari kedua dan ketiga ya.. BERSAMBUNG….





    Continue Reading
    (Dimuat di Koran Jakarta, 7 Mei 2019)


    Pesta demokrasi akbar rakyat Indonesia telah usai. Siapapun yang terpilih meduduki kursi presiden dan wakil presiden nantinya, harus siap dengan berbagai tantangan yang akan dihadapi dalam memimpin bangsa Indonesia. Bayang-bayang merosotnya pertumbuhan perekonomian global ditahun 2019 merupakan salah satu tantangan yang telah menanti di depan.

    Berdasarkan publikasi dari International Monetary Fund (IMF) yang berjudul World Economic Outlook, pertumbuhan ekonomi global ditahun 2019 diperkirakan hanya sekitar 3,3%. Angka tersebut jauh lebih rendah dari capaian pertumbuhan ekonomi global tahun 2018 silam yang diperkirakkan mencapai 3,6%. Proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang jauh menurun dari pada pertumbuhan ekonomi tahun 2018, disebabkan karena belum meredanya perang dagang antara China-AS, ancaman Brexit, serta pengetatan keuangan global.

    Pemerintah Indonesia sendiri menargetkan pertumbuhan ekonomi ditahun 2019 mencapai angka 5,3%. Namun, dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dalam dan luar negeri, target tersebut rasanya sulit untuk direalisasikan. Hal tersebut bukannya tanpa alasan, salah satu komponen penyumbang pertumbuhan ekonomi, yaitu surplus eksport masih jauh dari kenyataan. Bayang-bayang defisit neraca perdagangan masih menghantui Indonesia.

    Setelah mengalami defisit neraca perdagangan yang mencapai 8.566,4 juta dolar AS di tahun 2018, kini neraca perdagangan Indonesia belum juga menunjukkan perbaikan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ditriwulan pertama tahun 2019, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar yaitu 193,4 juta dola AS. Angka tersebut masih berpotensi untuk terus membengkak seperti halnya ditahun 2018 silam.

    Dua Batu Sandungan

    Mengembalikan tren neraca perdagangan ke jalur positif ditengah keaadaan perekonomian dunia yang penuh ketidakpastian merupakan sebuah pekerjaan yang tidak mudah. Menekan impor saja tidak mampu untuk membuat neraca perdagangan kembali ke jalur positif. Padahal, berbagai kebijakan untuk mengerem laju impor sudah diberlakukan, diantaranya adalah penerapan B20, menaikkan pph impor terhadap 1.147 komoditas, hingga penundaan beberapa program pembangunan infrastruktur yang mayoritas membutuhkan bahan baku impor.

    Bercermin dari pengalaman ditahun 2018, selain berusaha menekan laju impor, pemerintah juga harus menstimulus laju ekspor. Jika melihat empat tahun ke belakang (2015-2018), pertumbuhan ekspor Indonesia cukup memprihatikan. Selama empat tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan laju ekspor Indonsia hanya sekitar 5% setiap tahunnya. Laju pertumbuhan ekspor tersebut tersebut jauh lebih rendah dibanding laju pertumbuhan impor yang mencapai 11,47% setiap tahunnya.

    Berdasarkan data tersebut, mau tidak mau pemerintah harus menggenjot ekspor. Namun, untuk menggenjot ekspor ditahun 2019 tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Kedua komoditas andalan yang menopang ekspor Indonesia nasibnya sedang berada diujung tanduk. Batubara dan Crude Palm Oil (CPO) diprediksi akan mengalami penurunan permintaan ekspor sepanjang tahun 2019.

    Penyebab pertama adalah mitra dagang terbesar Indonesia, yaitu China diprediksi akan mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi ditahun 2019. Awal bulan maret lalu, Perdana Mentri China, Li Keqiang dalam pembukaan parlemen tahunan negara, menyampaikan bahwa target pertumbuhan ekonomi China berada dikisaran 6% - 6,5%. Target tersebut lebih rendah daripada realisasi pertumbuhan ekonomi China ditahun 2018 yaitu 6,6% yang merupakan pertumbuhan terendah sejak 1990.

    Indonesia harus waspada dalam menyikapi melemahnya pertumbuhan ekonomi China. Selama ini China merupakan pangsa ekspor terbesar Indonesia. Ditahun 2018 silam, sekitar 15% dari total ekspor Indonesia bermuara ke China. Terlebih lagi, mayoritas komoditas yang diekspor ke China adalah batubara dan CPO.

    Selain masalah pertumbuhan ekonomi China yang melambat, performa ekspor Indonesia juga dihantui pangsa pasar CPO yang semakin menyempit. Setelah India meberlakukan bea impor CPO yang cukup tinggi mulai bulan Maret 2018 silam, kini Uni Eropa sedang melakukan penjajakan kebijakan tidak direkomendasikannya CPO sebagai bahan bakar nabati di wilayah Eropa. Meskipun keputusan resmi pelarangan CPO sebagai bahan bakar nabati di Eropa masih menunggu sidang jajak pendapat pada tanggal 5 Mei 2019, namun jika kebijakan tersebut resmi disahkan, tentunya akan menjadi pukulan telak bagi Indonesia karena Uni Eropa merupakan pangsa ekspor CPO kedua Indonesia setelah India.

    India dan Eropa merupakan dua pangsa pasar ekspor CPO terbesar bagi Indonesia. Sepanjang tahun 2017, ketika India belum mengenakan tarif bea impor CPO, total ekspor CPO Indonesia ke India mencapai 7,63 juta ton. Namun, setalah diberlakukannya bea impor, ekspor CPO Indonesia ke India menurun drastis. Tercatat ditahun 2018 ekspor CPO Indonesia ke India hanya 6,71 juta ton atau turun 12% dari tahun sebelumnya.

    Belum juga permasalahan dengan India selesai, kini muncul permasalahan baru di Eropa. Bahkan kondisi di Eropa lebih buruk daripada di India. Jika India hanya membebankan adanya bea impor, Uni Eropa justru berpeluang untuk menutup pintu kran impor CPO. Jika hal terburuk itu terjadi, ini menjadi pukulan telak bagi Indonesia.  

    Melihat kondisi yang ada sekarang ini, memperluas pangsa pasar dan variasi komoditas ekspor harus segera diupayakan. Selama ini, 70% ekspor Indonesia bergantung kepada lima negara saja, yaitu China, Jepang, AS, India dan Singapura. Dengan melihat prospek ekonomi negara-negara tersebut, sudah selayaknya Indonesia memperluas mitra-mitra dagang baru. Negara-negara Afrika bisa menjadi alternatif pasar ekspor. Beberapa negara di Afrika yang memiliki pangsa pasar cukup menjanjikan, seperti  Afrika Selatan, Kenya, maupu Nigeria.

    Selain itu, pemerintah juga harus mampu menambah variasi komoditas ekspor andalan. Dengan diluncurkannya peta jalan revolusi industri 4.0 tahun lalu, diharapkan sektor manufaktur Indonesia kedepannya dapat lebih bersaing dengan negara-negara maju. Telah ditetapkannya lima sektor prioritas, yaitu industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, elektronik, serta kimia diharapkan mampu mendongkrak ekspor Indonesia. Semua itu tidak mustahil jika terjalin kerjasama yang baik antarkementrian dan kesadaran bangsa Indonesia untuk terus maju dan berbenah.
    Continue Reading
    Cinta dan Kerinduan

    “Pace, perjalanan masih jauhkah?” tanyaku dengan nafas tersengal-sengal.
    “Sebentar lagi sampai nak, tinggal melewati dua bukit lagi.”
    “Apa? Masih dua bukit lagi? Pace, kau jawab yang serius! Sa pu kaki su mau patah-patah ni.”
    “Sa serius, mungkin tiga jam lagi tong sampai.”
    “Mamayo!”

    Siang itu adalah hari ke tiga perjalananku dengan Simbar menuju kampung Oya, salah satu kampung pedalaman di Kabupaten Nduga. Sungguh sebuah perjalanan yang tidak ringan. Menyusuri rimbunnya hutan Papua, menyeberangi derasnya sungai, hingga bermalam hanya dengan bermodalkan sleeping bag untuk menahan dingin. Begitulah secuil gambaran perjuangan pegawai BPS untuk mencari data di daerah terpencil. Tujuh hari kami berada di hutan Papua, enam hari untuk perjalanan dan satu hari untuk mendata.

    Tepat sehari sebelum memasuki bulan puasa, akhirnya perjalananku usai. Tanpa mempedulikan rasa capek, aku langsung menelpon ibu. Mengabarinya, memberitahukan bahwa aku telah kembali dengan selamat. Beliaulah orang yang paling khawatir ketika aku meminta izin akan melakukan perjalanan jauh ke pedalaman.

    “Assalamualaikum”

    “Waalaikumsalam, bu mamas sudah sampai di rumah”

    “Alhamdulillah, pendataannya lancarkan?”

    “Alhamdulillah lancar bu, perjalanannya seru,” jawabku basa-basi agar ibuku tidak khawatir dengan keadaanku yang sedang KO berat.

    “Kamu lebaran nanti jadi pulang nak?” tiba-tiba ibu mengalihkan pembicaraan.

    “Hm, belum tahu bu, Mamas masih bingung. Tiket pesawat mahal sekali. Mamas eman dengan uangnya kalau cuma pulang selama satu minggu.”
    “Lha memang tidak bisa disambung dengan cuti tahunan?”

    “Tidak bisa bu. Tidak dibolehkan mengambil cuti tahunan setelah lebaran. Mungkin mereka yang membuat peraturan seperti itu belum pernah merasakan merantau ke Papua!” jawabku dengan kesal.

    “Sabar nak, jangan marah-marah, nanti cepat tua lho! Memang sekarang tabunganmu tidak cukup untuk beli tiket pulang?”

    “Kalau untuk sekedar pulang sih cukup, tetapi nanti tabunganku habis. Masa jauh-jauh kerja di Papua rekening tabungan kosong,” awabku masih dengan penuh emosi.

    “Ya sudah, tidak apa-apa. Asalkan kamu selalu sehat, itu sudah cukup bagi ibu. Di sana sudah jam sepuluh malam ya? Ibu tutup ya, jangan lupa sebelum tidur minum susu dulu. Assalamualaikum”

    “Inggih bu, waalaikumsalam.”

    Jam telah menunjukkan pukul sebalas malam, namun kedua mataku ini belum juga terpejam. Pikiranku sibuk dengan percakapan tadi bersama ibu. Firasatku mengatakan bahwa ibu sangat rindu denganku. Ibu ingin mengatakan “pulanglah nak!” tetapi ibu tidak tega dengan keadaanku. Aku mencoba mengingat percakapan tadi lebih detail. Aku tersadar, suara ibu bergetar ketika akan menutup telepon tadi. Apakah ibu menangis? Apakah ada perkataanku yang membuat ibu terluka?

    Pikiranku semakin kacau. Aku putuskan untuk menonton video ceramah salah satu ustad favoritku, siapa tahu bisa menenangkan hati dan pikiranku. Aku memilih tema memuliakan kedua orang tua. Malam itu aku hanyut dalam rasa bersalahku kepada ibu.

    Tiba-tiba saya terhentak ketika sang ustad mengutip sebuah ayat Al Quran, surah Alisra ayat 23 yang artinya,

    “Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”

    Seketika tubuh ini bergetar hebat. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung memesan tiket pulang. Aku berharap kepulanganku menjadi kado yang manis dibulan Ramadan, dan semoga mampu menyegarkan kembali keimanan kami. 
    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    About me

    Haedar Ardi Aqsha. Statistisi. Traveller. Writer. Pecinta Sepak bola. Gooner

    email: aqsha.kral10@gmail.com / haedar.ardi@gmail.com

    Follow Me

    • facebook
    • twitter
    • instagram

    Labels

    ABROAD CERITA DI PAPUA CERITA KULIAH CERITA MASA KECIL CERITA SMA CERPEN HEART MELODY MELANCONG Metode Statistik OPINI PIALA DUNIA 2018 Sesuatu Banget SINOPSIS SURVEI CONTOH Wawasan

    Followers

    Blog Archive

    • ►  2020 (9)
      • ►  September 2020 (2)
      • ►  June 2020 (4)
      • ►  May 2020 (2)
      • ►  January 2020 (1)
    • ▼  2019 (7)
      • ►  November 2019 (1)
      • ▼  August 2019 (3)
        • FESTIVAL PULAU ROON 2019 (BAG 1)
        • NERACA PERDAGANGAN KIAN TERPOJOK
        • KERINDUAN (JUARA 3 LOMBA RAMADHAN MENULIS BPS 2019)
      • ►  July 2019 (1)
      • ►  March 2019 (1)
      • ►  January 2019 (1)
    • ►  2018 (17)
      • ►  September 2018 (2)
      • ►  August 2018 (4)
      • ►  July 2018 (5)
      • ►  June 2018 (3)
      • ►  May 2018 (2)
      • ►  February 2018 (1)
    • ►  2017 (2)
      • ►  October 2017 (1)
      • ►  August 2017 (1)
    • ►  2014 (6)
      • ►  December 2014 (1)
      • ►  October 2014 (1)
      • ►  September 2014 (1)
      • ►  April 2014 (1)
      • ►  March 2014 (1)
      • ►  February 2014 (1)
    • ►  2013 (10)
      • ►  December 2013 (2)
      • ►  October 2013 (1)
      • ►  August 2013 (1)
      • ►  July 2013 (1)
      • ►  June 2013 (3)
      • ►  March 2013 (1)
      • ►  January 2013 (1)
    • ►  2012 (26)
      • ►  December 2012 (2)
      • ►  November 2012 (2)
      • ►  October 2012 (3)
      • ►  September 2012 (1)
      • ►  August 2012 (3)
      • ►  July 2012 (3)
      • ►  June 2012 (1)
      • ►  May 2012 (3)
      • ►  April 2012 (2)
      • ►  March 2012 (3)
      • ►  February 2012 (1)
      • ►  January 2012 (2)
    • ►  2011 (12)
      • ►  December 2011 (2)
      • ►  November 2011 (3)
      • ►  October 2011 (2)
      • ►  September 2011 (1)
      • ►  August 2011 (4)

    Created with by BeautyTemplates | Distributed By Gooyaabi Templates

    Back to top